Dari Balik Deretan Bus Terminal Pulogadung
Oleh: Lisfatul Fatinah Munir*
Bismillahirrahmanirrahim
Teman-teman masih ingat dengan KPAJ Jakarta
(Komunitas Peduli Anak Jalanan Jakarta)? Sekarang, singkatannya sudah
direvolusi menjadi KoPAJA (supaya mudah disebut dan lebih akrab dengan nama
Jakarta identik dengan angkutan umum “kopaja”). Dalam catatan kali ini, saya
ingin berbagi sedikit cerita tentang proses usaha saya untuk mengembangkan
KoPAJA.
Lebih dari seminggu yang lalu, saya menghubungi Kak Hulaifah, istri Kak Zaky (Pembina Punk Muslim), yang sudah saya anggap kakak sendiri.
Melalui pesan singkat saya menanyakan wilayah yang banyak anak jalanannya,
namun belum mendapatkan pembinaan. Setelah banyak berbincang, Kak Hulai
menyarankan saya untuk ikut bersamanya membina beberapa anak jalanan di
Terminal Pulogadung yang sangat kekuranganvolunteer (relawan) perempuan.
Setelah mendapatkan bantuan jaringan dari Kak
Hulai, saya niatkan untuk bisa berkunjung ke Pulogadung kamis lalu (27/10).
Tapi, karena harus mempersiapkan kepergian saya ke luar kota, saya baru bisa
menyempatkan diri ke sana kemarin, kamis 3 November 2011.
Setelah shalat ashar, saya dan seorang teman saya
berangkat dari kampus menuju Terminal Pulogadung. Kami berdua turun di pasar
sebelum terminal. Ternyata perjalanan masih cukup jauh untuk menuju terminal,
lebih dari 500 meter. Karena belum mengenal lingkungan sana, saya menunggu Kak
Hulai yang masih dalam perjalan di depan mini market. Kurang lebih setelah
setengah jam kami menunggu, Kak Hulai datang dan langsung mengajak kami berdua
menuju rumah salah seorang anak jalanan.
***
Kami menelusuri tepian pasar yang ada di dekat
terminal. Lalu memasuki gang kecil yang berkelok. Di ujung gang, saat jalanan
mulai melebar, Kak Hulai memperkenalkan kami dengan seseorang yang kami panggil
Mbak Sumi. Kemudian, Mbak Sumi mengajak kami bertiga melewati gang kecil yang
hanya bisa dilewati satu orang. Perlahan-lahan kami kehilangan matahari senja, kami
menelusuri gang yang lebih sempit lagi, lebih sesak lagi. Hanya bau kotoran
tikus yang tertangkap oleh hidung saya.
Di unjung gang, kami masuk ke sebuah rumah yang
sangat sederhana. Di dalam ruangan yang hanya bisa diisi oleh kurang lebih enam
orang dengan duduk melingkar, ada satu lemari pakaian tanpa pintu, satu
rak piring, dan dua dipan (satu untuk duduk atau tidur dan yang lain untuk
meletakan perabotan rumah tangga).
Di dalam sana Kak Hulai memperkenalkan kami
dengan penghuni rumah yang bernama Bu Mari, beliau sedang sakit saat kami
datang. Sambil menunggu adzan maghrib, kami berbincang dan mengatakan maksud
kedatangan kami ke sana, juga membicarakan apa yang akan kami lakukan selepas
maghrib nanti.
Singkat cerita, ba’da maghrib saya dan yang lainnya
berangkat ke rumah lain yang lebih luas. Di sana saya bertemu dengan beberapa
teman anak jalanan lain yang ingin belajar mengaji. Jumlah mereka ada empat
orang. Pertama, namanya Nada, seorang gadis yang masih duduk di bangku kelas
tiga SMP, di suka sekali bercanda dan tertawa. Kedua, namanya Mbak Nida, wanita
kurus dengan kulit gelap, yang ini sedikit malu-malu. Ketiga, Mbak Sumi, wanita
kurus berkulit bersih yang sehari-harinya bekerja mengasuh anak tetangganya
sendiri. Terakhir adalah pemilik rumah, namanya Mbak Nia, wanita lulusan SMA
tahun 2007 yang pernah bekerja menjadi satpam.
***
Ini adalah pertemuan kedua mereka dengan Kak
Hulai dalam kelas. Saya dan teman saya membantu Kak Hulai untuk mengajarkan
baca tulis al-quran. Pelajaran hari ini adalah makhorijul huruf. Sebelum
memulai pelajaran, Kak Hulai bertanya, “Nada dan mbak-mbak di sini tahu huruf
hijaiyah kan?” Dengan spontan Mbak Sumi menjawab, “Saya mah gak tau tulisan
Arab, Mbah Ulai. Ngaji aja seumur-umur kagak pernah.”
Saya benar-benar terkejut saat mendengar jawaban
Mbak Sumi. Di usia yang kira-kira sebaya dengan Kak Hulai, ia belum mengenal
huruf hijaiyah. Saat mendengar jawaban ini saya baru sadar kenapa saat maghrib
tadi saya mengajak Mbak Sumi untuk shalat, ia hanya menjawab dengan senyuman
sambil menggaruk-garuk kepala.
Saya tidak bisa membayangkan kepolosan Mbak Sumi
yang mengakui bahwa dia belum pernah mengenal huruf hijaiyah sebelumnya.
Bagaimana hidupnya selama ini? Tidakkah kedua orang tuanya mengajarkannya
agama? Apakah kedua orang tua nya juga tidak mengenal al-quran? Apakah berarti
kedua orang tuanya juga tidak shalat? Aiih, serentetan pertanyaan tiba-tiba
menjejal di kepala saya.
Meskipun banyak celetukan yang membuat miris,
proses belajar tetap belajar dengan lancar. Bahkan, penuh dengan warna. Ada
Nada dengan gaya tertawanya yang membahana dan sering membuat saya terkejut.
Mbak Sumi dengan kata khasnya “yassalam” setiap salah mengucapkan huruf atau
ketika belum bisa juga mengucapkan ‘ain dan kho. Mbak Nida dan Mbak Nia yang
cuma bisa senyum-senyum karena tidak bisa mengucapkan beberapa huruf. Seru!
Selesai mengajarkan makhorijul huruf dan member
PR kepada teman-teman jalanan, kami memceritakan sebuah kisah tentang keislaman
Ummu Sulaim. Di tengah keasikkan mendengarkan cerita, tiba-tiba hujan turun.
Cukup deras. Mbak Sumi yang tidak menyadari hujan turun langsung terkejut saat
tubuhnya terasa dingin dan dia langsung meminta izin untuk pulang lebih dulu
karena takut atap rumahnya bocor.
Indah. Dari balik deretan bus terminal Pulogadung
inilah aku menemukan momen indah di awal bulan ini. Mengenal Nada yang selalu
tersenyum, Mbak Sumi yang blak-blakkan tapi malu-malu. Mbak Nida dan Mbak Nia
yang lebih banyak diam tapi lucu. Beberapa jam sebelum bertemu mereka, saya masih
tidak bisa menerka bahwa teman-teman yang akan saya temui adalah seperti
mereka, teman-teman yang memiliki semangat luar biasa meskipun di lain sisi
banyak yang melihat kekurang mereka.
Ah, banyak cerita bersama mereka yang tidak dapat
saya tuangkan dalam kata-kata melalui catatan ini. Entahlah, terlalu indah
bersama mereka. Dalam “ruang kelas dadakan” ini, saya menemukan sejumput kasih
sayang yang berbeda kepada mereka yang belum saya kenal seutuhnya. Kasih sayang
ini datang tiba-tiba. Kalian tahu? Seperti ada embun yang metes di
pipiku. Tes… Dingin seketika, tapi tidak menggigit. Dinginnya menyejukkan.
Membuat mata pagi mebelalak. Segar. Lalu perahan embun itu menguap. Tidak
menimbulkan panas. Tapi hangat yang menyuburkan semangat.
Ini baru dunia yang luar biasa!
Begitulah aku membatin sepanjang pertemuan dengan
mereka. Bukan seberapa besar materil atau moril dalam memberi, tapi sebuah
keistiqomahan yang lebih penting dari sederat angka nol dalam rupiah.
Oh iya. Saudara-saudariku, perlu kita sadari
bersama bahwa sejatinya mereka tidak membutuhkan belas kasihan dari orang yang
merasa lebih dari mereka, tapi kasih sayang dari kita dan rangkulan yang setara
dan sederajatlah yang mereka butuhkan.
*Penulis adalah penggagas KOPAJA
0 komentar:
Posting Komentar