Minggu, 21 Oktober 2012

Kenangan Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H KOPAJA (Part 3)


*Oleh: Lisfatul Fatinah Munir


Bismillahirrahmanirrahim

Katanya, jatuh cinta adalah ketika pikiran tersita pada satu sosok yang menarik perhatian kita. Ketika bangun tidur tiba-tiba teringat seseorang, hendak makan teringat seseorang, selesai shalat teringat seseorang, katanya itu tanda-tanda kita sedang jatuh cinta pada orang yang wajahnya terus berputar di pikiran. Jika memang semua itu benar, itu berarti beberapa hari lalu hingga saat ini saya sedang jatuh cinta pada seseorang.

Semua berawal dari ketertarikan. Lalu, ia berubah menjadi simpati dan bermetamorfosa menjadi serangkaian rasa melebihi sayang dan kasih. Begitulah kira-kira yang saya rasakan beberapa hari ini sebagaimana proses tumbuhnya cinta secara universal.

Melalui sebuah skenario Allah yang tak terduga, saya mengenalnya dan dekat dengannya dalam waktu yang amat singkat. Mulanya, ibu yang mengenalkan saya padanya. Meski awalnya saya merasakan hal yang biasa-biasa saja sebagaimana saya berinteraksi dengan lelaki sebayanya, tapi semakin lama saya bersamanya, selalu di dekatnya, membuat ketertarikan diam-diam merangkak di dalam dada.

Satu jam dua jam saya bersamanya, perlahan tapi pasti kasih dan sayang merambahi sekujur tubuh saya untuk terus saya alirkan pada lelaki ini. Di jam-jam selanjutnya, dan di hari berikutnya, aliran kasih dan sayang ini semakin deras. Hingga, tanpa saya sadari, airmata ini ikut menderas bersama sebuah pengakuan bahwa saya sedang jatuh cinta. Ya, saya jatuh cinta pada lelaki ini.

Sepertinya, cukup mudah bagi Allah untuk mengatur rasa yang ada pada diri saya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya habiskan untuk selalu di dekatnya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya habiskan untuk terus memupuk kasih dan sayang yang kini–saya akui–telah berbunga cinta. Dan, saya harus berani berkata, “O Allah, saya jatuh cinta padanya, pada lelaki yang Kau kirimkan di pagi buta kepada saya, yang selalu di dekat saya, meski hanya tiga puluh tiga jam lamanya.”

***

Ya, begitulah saya harus mengakui cinta yang berjingkat-jingkat di diri ini. Berbeda dengan cinta biasa yang dipahami banyak orang, cinta saya kepada lelaki ini sebagai syukur saya atas apa-apa yang saya miliki selama ini. Cinta saya untuk lelaki ini adalah sebentuk cinta yang perintahkan Allah dan Rasulullah saw. Saya mencintainya, lelaki kecil tak berayah yang selalu di dekat saya selama tiga puluh jam lamanya.

Ndi, begitulah lelaki kecil ini memanggil dirinya sendiri. Nama sebenarnya adalah Sandi. Dialah lelaki kecil yang dengan kepolosannya telah merenggut hati saya, membuat saya menumpahkan ketertarikan, kasih, dan sayang kepadanya, hingga saya harus mengaku bahwa saya mencintainya.

Perkenalan kami bermula pada kegiatan Pesantren Kilat Anak Jalanan yang diadakan KOPAJA. Saat sedang membicarakan persiapan acara dengan ibu saya, tiba-tiba ibu saya bertanya apakah masih bisa memasukkan peserta untuk acara ini sebab ibu mengenal tiga bocah pengamen sekaligus joki yang belum mendapatkan binaan.

Beberapa hari selanjutnya, setelah saya menyetujui tiga peserta tambahan yang direkomendasikan ibu, saya mendatangi kediaman tiga anak itu. Tapi, berhubung rumah ketiganya adalah kawasan kumuh tempat pada pengamen, pengemis, dan joki tinggal, seorang ibu muda menghampiri ibu saya dan bertanya apakah anaknya boleh ikut serta di acara kami. Saat itu saya tidak tahu berapa usia anak tersebut, tapi seketika itu juga saya dan ibu saya mengiyakan permintaan ibu muda tersebut.

Keesokan harinya, saat langit pagi masih abu-abu, saya menjemput keempat anak tersebut. Saya agak terkejut ketika ibu muda yang pernah menemui ibu saya dan saya menuntun anak lelaki usia lima tahun dan menyerahkan anak itu kepada saya. Ketika tangan lelaki kecil itu menggenggam tangan saya, ada desir aneh di dalam dada ini. Rasanya melebihi haru. Entah rasa apa itu, tiba-tiba hati saya semakin luluh ketika lelaki kecil itu tersenyum kepada saya.

Singkat cerita, sejak pagi buta itu saya selalu bersama Sandi, paling tidak berusaha menjalankan amanah ibu Sandi agar saya menjaga Sandi.

Kurang lebih tiga puluh tiga jam saya bersama Sandi. Kemana saya pergi, di situlah saya menggenggam lengan Sandi. Kendati saya harus mondar-mandir membantu berjalannya acara, Sandi tetap mengikuti saya, memegangi gamis saya, memegang lengan saya, atau berlari kecil di belakang saya.

Selama bersama Sandi, saya merasa menjadi seorang ibu muda yang diikuti anaknya sendiri. Bagaimana tidak, setiap ada apa-apa, Sandi selalu melapor kepada saya. Ketika Sandi lapar di siang hari, saya harus mencari makanan di daerah puncak yang baru saya kenal, ketika Sandi mengantuk saya biarkan dia tidur di pangkuan dan pelukan saya, bahkan ketika panitia yang lain sibuk mengurus acara saya justru sibuk memandikan Sandi dan mengajaknya bermain.

Ini nikmat. Hanya itu yang ingin saya katakan selama bersama Sandi. Apalagi ketika sahur saya bangun dengan tubuh menggigil, saya harus tetap melihat Sandi yang tertidur terpisah dengan saya (Sandi di dalam kamar bersama peserta, sedangkan saya tidur di luar kamar bersama panitia lainnya).

Yang mengejutkan adalah ketika saya masih menggigil kedinginan di sampingnya yang masih tertidur pulas, tiba-tiba dia terbangun dan berkata ‘mau pipis’. Sambil menahan dingin, saya menuntunnya ke kamar mandi dan mengajaknya kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. Tapi, sayanganya Sandi tidak ingin tidur. Ya, mau tak mau saya mengajaknya makan sahur. Di sinilah satu momen yang paling membuat hati saya luluh dan semakin mencintainya, lagi-lagi saya merasa menjadi ibunya. Sementara yang lainnya santap sahur di tengah udara puncak yang menusuk kulit, saya memeluknya dan menyuapinya. Selesai menyuapinya, saya membiarkan Sandi duduk di atas karpet dan bercanda dengan panitia yang sudah santap sahur, sementara itu saya mulai melaksanakan sahur.

Belum lagi ketika Sandi menangis karena malu ditertawakan oleh peserta yang lain karena kepolosan dan kelucuannya. Saat itu saya dengan spontan mengikutinya yang berlari ke kamar. Tak tega melihat air matanya mengalir. Lalu, saya mencoba membujuknya dan mengajaknya berkeliling vila. Lucunya, Sandi ingin digendong. Saat inilah kasih dan sayang yang saya miliki semakin berbunga menjadi kemabng-kembang cinta. Menggendongnya, menunjukkan pemandangan dari atas puncak sambil sedikit bernyanyi untuknya diam-diam membuat saya semakin mencintainya. Tanpa saya sadari, saat itu, ketika tubuh mungil Sandi masih berguncang karena tangisnya, saya turut menangis. Saya juga tak tahu mengapa air mata ini mengalir begitu saja. Yang jelas, saya benar-benar bahagia, serasa mendapat nikmat tak terkira ketika saya harus menjaga Sandi sebagaimana ibunya sendiri.

Waktu terus berjalan hingga Pesantren Kilat Anak Jalanan usai. Kami tiba di Jakarta ba’da Zuhur di Lapak Pemulung binaan KOPAJA. Selesai shalat dan menyuapi Sandi, saya dan yang lainnya pulang kerumah masing-masing, saya pun harus memulangkan Sandi pada ibunya.

Masih dalam keadaan letih saya tidur pulas sampai azan Ashar membangunkan saya. Kalian tahu apa yang saya lakukan saat bangun tidur. Saya mencari Sandi. Saya tidak sadar bahwa sekarang saya sudah berpisah dengan Sandi. Dan, setelah itu yang saya rasakan adalah rindu yang teramat sangat.

Keesokan harinya, saat makan sahur bersama keluarga, lagi-lagi saya teringat Sandi. Saya teringat ketika dia bangun untuk buang air kecil dan ikut sahur bersama saya. Untuk pertama kalinya, saya menangisi Sandi yang mungkin saat itu sedang tertidur pulas di rumahnya.

Siang harinya, saya kembali menjalan aktivitas di kampus. Entah, tanpa saya duga, ba’da shalat zuhur, tiba-tiba saya teringat Sandi. Senyum dan wajah Sandi semakin jelas ketika saya sedang membaca al-quran.  Sampai-sampai saya harus menghentikan bacaan saya dan saya malah menangis di sudut masjid kampus.
Mungkin ini namanya rindu, pikir saya saat mulai tenang ingin melanjutkan bacaan al-quran saya. Sebaris doa spontan terucap untuk keselamatan, kesehatan, dan kecerdasan Sandi kecil yang telah mengisi salah satu ruang hati saya.

Pagi tadi, saat saya hendak berangkat ke suatu tempat, saya menyengajakan diri melewati pasar tradisional yang biasa menjadi tempat bermain Sandi dan tiga bocah pengamen yang saya ajak ke kegiatan KOPAJA. Mata saya menelusuri sudut-sudut pasar dengan perlahan, berharap Sandi ada di salah satu tempat di pasar itu. Sayangnya, saya hanya bertemu dengan tiga bocah pengamen lainnya yang sudah siap berangkat menjoki di jalan three in one.

Saat hampir keluar dari pasar, ada sekumpulan anak kecil yang bercengkrama. Dengan hati-hati saya teliti satu-satu wajah anak-anak yang berkumpul itu. Belum selesai saya menelusuri wajah seluruh anak itu, tiba-tiba salah satu di antaranya berlari ke arah saya. Anak itulah yang saya cari. Dialah Sandi, lelaki kecil tak berayah yang telah merenggut segenap perhatian dan cinta yang saya punya.Lagi-lagi, mungkin karena saya cengeng, saya menangis di perjalanan.

Um, apakah begini rasanya jatuh cinta pada seseorang? Ingin terus di dekatnya, menjaganya, dan bisa bercengkrama dengan dia yang telah mengambil bagian dari hati kita?

Jika memang ini cinta, saya berharap ini cinta yang lillah. Saya berharap cinta ini berlandaskan ajaran Allah dan Rasulullah yang menganjurkan kita untuk mencintai anak yatim dan fakir miskin.

Satu hal besar yang saya pelajari dari perjalanan tiga pulung tiga jam bersama Sandi. Bahwa berkumpul dengan mereka, anak-anak pemulung, anak jalanan, anak yatim, dan fakir miskin adalah tahap awal untuk terus mengasah kepekaan dan kelembutan hati.


O Allah, saya jatuh cinta pada lelaki kecil tak berayah itu. O Allah, utuhkan cinta pada bocah yatim ini hanya atas nama-Mu dan Rasul-Mu, atas kesadaran sebagai hamba yang juga berkekurangan. Bahwa dengan mencintai lebih banyak lagi bocah yatim adalah cara saya untuk semakin mencintai-Mu, mencitai Rasul-Mu, dan mencintai agama-Mu yang penuh dengan cinta.

Allah, salam sayang untuk Sandi. Ah, konyol, saya berharap bisa mengasuhnya :’)

*penulis adalah penggagas KOPAJA

0 komentar:

Posting Komentar