Selasa, 30 Oktober 2012

Karena Ratna Kuat! (Cerita Inspirasi Gerakan 1000 Buku untuk Anjal)



Bismillahirrahmanirrahim

Sebuah buku mungkin tidak cukup berarti harganya bagi yang memiliki uang berlebih. Sebuah buku mungkin sangat berarti harganya bagi yang tak mampu membeli.

Ini tentang keistemewaan, membedakan yang istimewa dan tidak istimewa. Yang membedakan seberapa istimewanya sebuah benda yang ada di tangan kita adalah usaha yang kita lakukan untuk meraihnya.

Siang itu saya makan di salah satu rumah makan dekat Rumah Pustaka FLP Ciputat bersama dengan dua sahabat saya. Lalu, tiba-tiba seorang bocah perempuan berjilbab masuk ke dalam rumah makan. Dia masuk tidak untuk makan. Dia masuk untuk meletakkan amplop-amplop kecil di atas meja tamu dan menanti tangan-tangan berbaik hati memasukkan uang ke dalam amlpopnya.

Saat mendekati meja kami, bocah perempuan itu menunjuk kotak makan yang dibawa sahabat saya. “Apa itu, Kak?” tanyanya polos, matanya tertuju pada tumpukan cokelat buatan sahabat saya.

“Ini cokelat. Kamu mau?” teman saya mengulurkan dua buah cokelat ke tangannya. Sambil malu-malu, dia mengambil cokelat itu dan pergi, meletakkan amplop di meja lain. Saat mendekati meja kami lagi, bocah ini tersenyum, cantik sekali.

“Ini bawa lagi,” kata saya dan sahabat saya serentak. Tangannya kini penuh dengan cokelat.

Begitulah awal perjumpaan saya setengah tahun lalu dengan seorang bocah perempuan bermata embun. Ratna namanya. Usianya saat itu tidak kurang dari tujuh tahun. Meski mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya, Ratna tetap terlihat cantik  di balik jilbab dan gamisnya yang lusuh.

***


Kemarin, 6 Oktober 2012 saya bertemu lagi dengan bocah bermata embun ini, di sebuah rumah makan tepat di samping UIN Ciputat. Kali ini masih sama, dia masuk tidak untuk makan, tapi untuk mencari uang. Dia masuk dan langusng meletakkan amplop di setiap meja makan. Dengan ragu-ragu saya menyebut namanya saat dia mendekati meja saya. Tapi dia tersenyum, lalu tertawa kecil sambil mengiyakan panggilan saya.

Saat kami bertanya balik siapa kami, ternyata Ratna sudah lupa dengan kami. Well, akhirnya, untuk kedua kalinya kami berkenalan lagi. Lalu, tiba-tiba Ratna berbisik di telinga saya, “Kakak, Kakak, tadi aku lihat buku bagus di depan sana. Aku mau beli buku itu tapi gak punya uang. Kakak mau gak beliin buat aku?”

“Buku apa itu?” saya ikut berbisik di telinganya.

Ternyata, Ratna ingin membeli buku cerita yang ada di bazaar buku  Mizan, dalam kampus UIN Ciputat. Selesai makan kami bertiga berjalan ke Rumah Pustaka untuk mengambil uang.

Saat tiba di dalam Rumah Pustaka, Ratna berteriak kegirangan. “Waaah, banyak buku ya, Kak.”

“Iya, di sini bukunya banyak. Kalau Ratna mau baca buku, ke sini aja ya,” kata teman saya.

Kurang lebih limabelas menit kami di Rumah Pustaka. Sejak masuk Rumah Pustaka, Ratna tak beranjak sedikitpun dari rak-rak buku. Dia terlihat sangat asik memilih-milih buku yang berjejer di rak. Setiap judul buku diperhatikannya, diambil, dibuka-buka, diberitahu kepada kami jika ada yang menarik, bertanya kepada kami jika ada yang membingungkan, dan meletakkannya kembali ketika melihat judul buku yang lebih menarik perhatian.

Deretan buku yang hampir setiap pekan saya lihat, memang hanya deretan buku biasa. Tapi hari itu, deretan buku-buku itu menjadi luar biasa di mata embun Ratna. Tangan kecil Ratna asik menjalari buku-buku berdebu yang berderet di sudut yang hampir tak pernah disentuh.

Setelah puas melihat-lihat buku Rumah Pustaka, kami keluar menuju bazaar buku Mizan. Ketika keluar dari Rumah Pustaka, Ratna melihat pintu masuk rumah makan yang ada di dekat Rumah Pustaka penuh dengan sandal. Itu artinya, di dalam sana banyak tamu yang hendak makan. Sambil malu-malu, Ratna yang sedari tadi menggandeng tangan saya berhenti berjalan dan berkata, “Aku mau ke sana dulu, Kak, lagi rame.”
Saya dan teman saya hanya tersenyum, mengangguk. Salut.

Bagi anak lain, rumah makan penuh tidak akan berarti apa-apa. Tapi bagi Ratna, dan anak-anak yang dibesarkan bersama kerasnya kehidupan, rumah makan yang penuh adalah peluang untuk mencari selembaran uang. Miris. Mereka tumbuh cerdas dan dewasa jauh dari usianya.

Setelah Ratna mengamen, kami bertiga langsung melaju ke bazaar buku. Sambil melompat kegirangan, Ratna menghampiri tumpukan buku anak-anak. Meraba-raba sampul buku. Membolak balik isinya. Mengomentari gambar-gambar yang ada di dalamnya.

Beberapa menit dia asik memilih, akhirnya satu buku diserahkannya kepada saya.

“Ini aja? Cuma satu?” teman saya bertanya.

“Memang boleh beli dua?” Ratna bertanya dengan polosnya.

“Boleh,” saya dan teman saya menyahut bersamaan.

“Asiiiiiiiik,” Ratna langsung membelakangi kami, berlari kegirangan.

Dua buku sudah di tangan Ratna, komik Upin-Ipin dan 101 Info tentang Sedekah for Kids. Ratna terus tersenyum saat kami antre di kasir.

Sebelum berpisah, Ratna ragu-ragu berkata, “Kakak, aku harus cari uang lagi.”

“Gak apa-apa. Tapi hati-hati ya.”

“Kakak, aku mau beli buku sekolah harganya 90.000, kalau uangku baru 58.000 berarti kurang 32.000 lagi ya?” kata Ratna dengan polosnya.

Entah kenapa, setelah mendengar pertanyaan itu saya merasakan ada hal yang berbeda masuk ke dalam diri saya. Sambil mengangguk mantap, saya dan teman saya kompak berteriak, “Semangaaaaat! Semangat beli buku sekolah!”

“Semangaaaat! Ratna bisa! Ratna kuat! Yeeee.” Ratna ikut berteriak sambil mengangkat tangannya.

Di sinilah kami berpisah. Sedih. Tapi, ya, bagaimana lagi. Ratna yang memiliki ibu seorang pembantu dan ayah seorang kuli bangunan masih harus mencari uang untuk membeli buku. Pelukan hangat mengakhiri pertemuan kedua kami sekaligus menjadi doa, semoga kami bisa bertemu lagi :’)

***

Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Ratna. Ada banyak energi positif yang saya terima dari bocah bermata embun ini. Ada semangat yang tak berkesudahan dan kekuatan optimisme yang diiringi keriangan yang dimiliki Ratna, dan semua itu belum saya miliki.

Segenggam iri terkepal dalam malu. Lalu saya  bertanya pada diri sendiri, apakah kamu cukup bangga dengan apa yang sudah kamu usahakan hingga saat ini? Tidak. Apa yang sudah saya usahakan hingga saat ini tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kemauan dan semangat yang Ratna punya.

Haru. Malu. Itulah yang saya rasakan sampai hari ini, setiap kali mengingat wajah surganya.

“Ratna kok ngamen? Memangnya gak dicariin sama ibu?” saya bertanya di sela-sela pertemuan kami.

“Nggak dong, kan Ratna udah gede. Ratna bisa kemana-mana sendirian, karena Ratna kuat! Yeeeee!” Ratna menjawab dengan semangat. Berteriak. Melompat.

Karena Ratna kuat. Mungkin saja Ratna tidak mengerti apa itu artinya kuat. Mungkin juga Ratna tidak tahu seberapa besar kekuatan yang harus kita miliki untuk dapat bertahan hidup di tengah derasnya masalah. Tapi, Ratna telah mengajarkan kepada saya untuk menjadi kuat dan hebat bukan berarti kita harus paham teori kuat dan hebat dalam hidup itu seperti apa.

Dari senyuman dan tawa Ratna, saya belajar arti keriangan. Dari keriangannya saya belajar untuk selalu bahagia, dalam keadaan ada atau tiada. Dari keriangannya saya belajar berhusnuzan pada Allah, bahwa Allah Mahabaik. Bahwa Dia senantiasa mengiringi kesulitan dengan kemudahan.

Dari mata embun Ratna, saya belajar arti keikhlasan, kesabaran. Bahwa keikhlasan, dan kesabaran adalah ketika kita menatap ke depan dengan mata berbinar dan berkata, “Allah Maha Menepati janji-Nya. Allah menjanjikan keberhasilan bagi orang-orang yang berusaha.”

Dari sentuhan tangan mungil Ratna, saya belajar arti kerja keras. Optimis, husnuzan, dan ikhlas tidaklah cukup untuk menjadikan kita sebagai orang yang kuat. Kerja keras adalah optimisme dan husnuzan pada Allah dalam bentuk yang berbeda. Bahwa dengan bekerja keras, kita yakin bahwa Allah akan menghitung setiap peluh yang jatuh dan menggantinya dengan yang lebih indah.

Dari Ratna saya tahu arti istimewa. Yang istimewa baginya adalah buku-buku yang disukainya tapi tak mampu dibelinya. Yang istimewa adalah yang kecil, yang didapatkan dengan segenap kemauan  besar dan kerja keras. Yang istimewa adalah yang didapatkan dengan usaha terbaik kita :)

Semangat mencari 32.000 lagi, Ratna! Terima kasih atas pelajaran yang berarti dan tak terganti. Semoga kamu tumbuh menjadi gadis yang shalehah dan dirindukan surga. Semoga semakin kuat! :’)

*Penulis adalah penggagas KOPAJA

1 komentar:

  1. subhanallah, bagus sekali ceritanya :) izin di-print ya Mbak, biar bisa dibaca kapan saja.. makasih sebelumnya.

    BalasHapus