Gerakan 1000 Buku Bacaan untuk Anak Jalanan

Buku adalah gerbang ilmu pengetahuan, begitulah sebuah skema mengemukakan betapa pentingnya keberadaan buku.

Kegiatan Bakti Sosial KOPAJA

Bakti sosial sekaligus sosialisasi perdana kegiatan KOPAJA.

Belajar Gerakan Sholat

Menanamkan kepada anak-anak pentingnya menegakkan sholat sejak dini.

Hasil Karya Anak-anak

Membebaskan ekspresi dan kreasi anak-anak, dan mengarahkannya kepada hal yang positif.

Pesantren Kilat Anak Jalan

Bersama dalam canda dan tawa, mengisi ruhiyah anak-anak dalam kehangatan Ramadhan.

Minggu, 09 Desember 2012

Silaturahmi Hj. Vena Melinda, S.E. Komisi X DPR RI dengan KOPAJA

Alhamdulillahirabbil 'aalamin.

Rabu, 5 Desember 2012, KOPAJA baru saja kedatangan tamu besar dari anggota dewan. Tamu KOPAJA adalah Ibu Hj. Vena Melinda, S.E.  yang kini menjabat sebagai anggota dewan di Komisi X DPR RI. Kedatangan Ibu Vena ke KOPAJA adalah dalam rangka program kerja Komixi X. Di Komisi X yang mengelola bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Ibu Vena memegang spesialisasi mengurus pendidikan untuk anak-anak marjinal. Oleh karena itu, KOPAJA yang pada dasarnya mencanangakan pendidikan untuk anak-anak marjinal, anak jalanan, anak yatim, dan kurang mampu, menjadi sasaran Ibu Vena dalam kunjungan kerjanya.

Acara silaturahmi ini dilaksanakan di Mushalah al-Ikhlas, mushalah kecil tempat adik-adik KOPAJA biasa belajar dengan para relawan dan pengurus. Di mushalah kecil ini berkumpul 52 anak yang terdiri dari anak pemulung, anak yatim piatu, anak kurang mampu dan anak-anak yang berprofesi sebagai joki 3 in 1.

Silaturahmi yang dimulai pukul 15.00 WIB berlangsung dengan sederhana namun mengesankan. Anak-anak menunggu Ibu Vena dengan bermain dan membaca buku bersama. Kedatangan Ibu Vena disambut dengan senyuman adik-adik KOPAJA dan kehangatan kakak-kakak KOPAJA.

Ibu Vena datang bersama seorang adiknya, dan dua orang rekannya yang mana salah satunya adalah Bapak Heri Lontung Siregar, sesama anggota dewan di Komsi X DPR RI. Dalam kesempatan kali ini, Ibu Vena memberikan sejumlah bingkisan kepada anak-anak, seperti kaos, tas, snack, makan malam, dan sejumlah uang. Tak hanya itu, Ibu Vena juga memberikan dua buah rak buku yang berisi buku-buku bacaan, buku tulis, buku gambar, spidol warna, pulpen, papan tulis, dan mainan edukatif untuk membantu proses PKBM adik-adik KOPAJA.

Terima kasih kepada Ibu Vena atas kunjungannya di KOPAJA. Semoga yang diberikan Ibu Vena bisa bermanfaat dan berkah bagi kita semua. Jazakillah khair. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu Vena dengan kebaikan lain yang setimpal :)

Ketua KOPAJA, Ibu Vena dkk sedang berbincang dengan adik-adik KOPAJA

Penyerahan bantuan dari Ibu Vena kepada Ketua KOPAJA secara simbolis

Ibu Vena membagikan langsung bingkisan kepada adik-adik KOPAJA

Semuanya berdoa dengan khitmat, berharap keberkahan dari harta yang dikeluarkan dan didapatkan :)

Salah satu lemari pemberian Ibu Vena yang sudah dirakit



Kakak-kakak KOPAJA dan Ibu Vena berfoto bersama sebelum Ibu Vena pulang

100 Buku untuk KOPAJA dari Universitas Pancasila


Semarak Gerakan 1000 Buku untuk Anjal yang diadakan KOPAJA ternyata terdengar luas hingga ke Depok. Sejumlah mahasiswa dari Universitas Pancasila menghubungi Ketua Pelaksana Gerakan 1000 Buku untuk Anjal untuk menjalin kerjasama dengan KOPAJA.

Dalam kesempatan kali ini, para mahasiswa yang tergabung Ikatan Senat Universitas Pancasila datang ke Lapak Pemulung untuk menyerahkan 100 buku pelajaran untuk menambah jumlah donasi buku dalam Gerakan 1000 Buku untuk Anjal. Selain menyerahkan 100 buku, mahasiswa Universitas Pancasila juga menyerahkan sejumlah bingkisan untuk adik-adik KOPAJA.

Semoga buku dan bingkisan yang sudah diberikan mahasiswa Universitas Pancasila bisa bermanfaat dan berkah bagi adik-adik KOPAJA :)

Mahasiswa Universitas Pancasila khitmat mendengarkan sambutan dari perwakilan salah satu mereka



Adik-adik dan Kakak-kakak KOPAJA berfoto bersama mahasiswa Universitas Pancasila ^^

Selasa, 30 Oktober 2012

Sejarah KOPAJA Bag.3


Berwisata Hati


Bismillahirrahmanirrahim

Ini tentang perjalanan di tengah terik matahari dan titik hujan yang menyisakan api kepedulian.

Hari ini, saya memiliki agenda pertemuan dengan KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan). Pertemuan di Blok M kali ini merupakan pertemuan ketiga saya dengan teman-teman seperjuangan yang memiliki secuil kepedulian terhadap saudara-saudara kami yang ada di jalanan. Di Masjid Nurul Iman Blok M Square, kami membahas sejumlah persiapan untuk bakti sosial yang sudah saya siapkan dari rumah.

Singkat cerita, setelah membahas hampir seluruh persiapan bakti sosial dan melaksanakan shalat zuhur, kami melanjutkan ke agenda kedua, yaitu menyurvei tempat anak jalanan yang hendak menjadi sasaran kami. Cukup pening awalnya. Hehe, karena saya harus berkali-kali menelepon seorang kawan untuk menanyakan lokasi anak jalanan dekat Blok M. Setelah cukup lama berputar Blok M dan memutar kepala agar pertemuan kami tidak sia-sia, kami memutuskan untuk langsung ke wilayah anak jalanan tersebut tanpa menunggui mereka di tempat tongkrongan mereka.

Perjalanan kami lanjutkan ke tempat sasaran. Hehe, bermodal nekad (karena tak ada satu pun dari enam orang yang hadir yang tahu di mana letak kampung pemulung yang hendak kami datangi). Saya dan yang lainnya menuju kawasan Gandaria City menggunakan metro mini. Kira-kira setengah jam perjalanan kami baru sampai di samping Gandaria City.

Seperti yang tadi sudah saya bilang, tak ada satupun di antara kami yang tahu di mana tepatnya kampung kumuh yang dimaksud seorang teman kami yang bernama Aris. Um, meski saat itu matahari benar-benar sedang membelalak ganas, kami tetap berusaha mencari tahu di mana letak kampung pemulung ini. Alhasil, setelah bertanya-tanya kepada beberapa orang tibalah kami di suatu daerah yang benar-benar membuat saya tidak mampu berkomentar apa-apa.

***

Sebuah pusat perbelanjaan yang cukup megah menjadi patokan kami untuk menemukan kampung pemulung tersebut. Kami berjalan bersama asap kendaraan yang menjejali Jakarta hingga ke sebuah apartemen mewah yang bersebelahan dengan pusat perbelanjaan yang tak kalah mewahnya. Sebuah jalan panjang terbentang di depan apartemen itu. Ini bukan jalan menuju pintu masuk apartemen! Ada pagar tinggi yang membatasi jalan masuk apartemen yang biasa dilewati mobil-mobil bergengsi dengan jalan yang menjadi tapakan kaki-kaki tak beralas.

Kami berjalan hingga sebuah percabangan jalan. Ini masih di areal aparteman. Sedikit terkejut. Pemandangan kontras hinggap di pengelihatan kami. Percabangan yang kami pilih untuk meneruskan perjalanan kami adalah jalan setapak yang becek dan penuh tumpukan sampah di kanan kiri. Sebuah pemandangan yang “bikin geli” ketika saya mendongakkan kepala ke arah kanan dan melihat gedung apartemen yang bersih gagah terpancang.

Di jalan setapak ini, kami masih meraba perjalanan kami. Kami masih bertanya-tanya ke beberapa orang letak kampung pemulung yang dimaksud oleh Aris. Kurang dari sepuluh menit memasuki perumahan kumuh yang terselip di antara apartemen itu, akhirnya kami menemukan apa yang kam cari; kampung pemulung. Sebuah tanah lapang yang lebih mirip dengan tempat pembuangan sampah, kira-kira begitulah gambarannya. Di sana memang banyak sampah-sampah yang masih berguna, seperti kadus, plastik, besi, dan berkarung-karung hasil pulungan lainnya.

Satu lagi. Saat itu saya disajikan satu pemandangan yang sungguh mengcampuradukkan rasa di hati. Ada sedih, geram, dan benci. Di hadapan saya terpotret keadaan yang sangat tidak wajar. Sebuah aparteman megah bersanding dengan rumah-rumah yang lebih mirip penampungan sampah.

“Kok mereka bisa ya tidur nyenyak di apartemen itu? Bukannya dengan sekali melihat dari jendela apartemennya mereka bisa langsung tahu kondisi ‘tetangga’ mereka?” gumamku dalam hati.

Tapi entah apa yang sudah terjadi. Kondisi seperti ini justru seperti menjadi hal yang biasa saja bagi para penghuni kampung pemulung, pun itu bagi warga sekitar yang dari nampak rumahnya jelas bisa dikatakan mapan.

Entahlah. Seperti ada yang salah dalam pikiran orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu. Mengapa mereka tega? Mengapa mereka bisa membiarkan keadaan dekat mereka seperti ini? dan sejumlah pertanyaan tak menerima fenomena di depan mata muncul bertubi-tubi dalam kepala. Entahlah. Seperti ada yang salah dalam hati orang-orang yang ada di sekitar saya saat itu, apalagi dengan hati orang-orang kaya yang ada di apartemen yang baru saja saya lewati. Ada yang tidak berfungsi!; Mata dan hati mereka, itu kata hati saya.

Ah, saya lebih sedih lagi ketika dengan cepat pikiran saya yang lain mengatakan, “Mungkin Tuhan telah mengunci hati mereka dan membutakan mata mereka, tapi mereka tidak tahu.” Ah, na’uudzubillah! Dan dikuncinya hati adalah satu Kehendak Allah yang paling saya takutkan. Betapa nikmat-nikmat seakan tercabut ketika saya mengandaikan diri sebagai seorang yang dikunci hatinya.

Oh iya, satu hal yang saya percayai adalah kepekaan mata justru diukur ketika mata kita terpejam. Dengan kata lain, pengelihatan tak sekadar sebatas pada mata, tapi juga sampai ke satu titik yang tersembunyi bernama hati. Dalam perjalanan seharian ini, saya mendapatkan banyak pengalaman yang sangat berharga. Dan, saya harus menyadari bahwa sepertinya saya pun kurang peka. Karena ternyata, sebelumnya saya selalu melewati wilayah kampung pemulung yang terhimpit gedung-gedung megah setiap hendak ke UIN. Ini baru saya sadari saat perjalanan pulang. Oleh karena itu, saya menganggap perjalanan ini sebagai berwisata hati.

Lantas, apa yang perlu dikoreksi? Hati. Kata seorang ustzad yang saya kenal, adalah tanda matinya hati ketika seseorang tidak bergerak hatinya ketika melihat satu hal yang menyedihkan. Semoga kita termasuk dalam bagian orang-orang yang masih dihidupkan hatinya. Amin.(*)

Ini adalah kisah pencarian tempat binaan KOPAJA. Tempat ini sampai sekarang menjadi ladang amal kakak-kakak KOPAJA untuk berbagi cinta menuju cita-cita adik-adik Pemulung.



*Penulis adalah penggagas KOPAJA

Sejarah KOPAJA Bag. 2


Dari Balik Deretan Bus Terminal Pulogadung


Bismillahirrahmanirrahim

Teman-teman masih ingat dengan KPAJ Jakarta (Komunitas Peduli Anak Jalanan Jakarta)? Sekarang, singkatannya sudah direvolusi menjadi KoPAJA (supaya mudah disebut dan lebih akrab dengan nama Jakarta identik dengan angkutan umum “kopaja”). Dalam catatan kali ini, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang proses usaha saya untuk mengembangkan KoPAJA.

Lebih dari seminggu yang lalu, saya menghubungi Kak Hulaifah, istri Kak Zaky (Pembina Punk Muslim), yang sudah saya anggap kakak sendiri. Melalui pesan singkat saya menanyakan wilayah yang banyak anak jalanannya, namun belum mendapatkan pembinaan. Setelah banyak berbincang, Kak Hulai menyarankan saya untuk ikut bersamanya membina beberapa anak jalanan di Terminal Pulogadung yang sangat kekuranganvolunteer (relawan) perempuan.

Setelah mendapatkan bantuan jaringan dari Kak Hulai, saya niatkan untuk bisa berkunjung ke Pulogadung kamis lalu (27/10). Tapi, karena harus mempersiapkan kepergian saya ke luar kota, saya baru bisa menyempatkan diri ke sana kemarin, kamis 3 November 2011.

Setelah shalat ashar, saya dan seorang teman saya berangkat dari kampus menuju Terminal Pulogadung. Kami berdua turun di pasar sebelum terminal. Ternyata perjalanan masih cukup jauh untuk menuju terminal, lebih dari 500 meter. Karena belum mengenal lingkungan sana, saya menunggu Kak Hulai yang masih dalam perjalan di depan mini market. Kurang lebih setelah setengah jam kami menunggu, Kak Hulai datang dan langsung mengajak kami berdua menuju rumah salah seorang anak jalanan.

***

Kami menelusuri tepian pasar yang ada di dekat terminal. Lalu memasuki gang kecil yang berkelok. Di ujung gang, saat jalanan mulai melebar, Kak Hulai memperkenalkan kami dengan seseorang yang kami panggil Mbak Sumi. Kemudian, Mbak Sumi mengajak kami bertiga melewati gang kecil yang hanya bisa dilewati satu orang. Perlahan-lahan kami kehilangan matahari senja, kami menelusuri gang yang lebih sempit lagi, lebih sesak lagi. Hanya bau kotoran tikus yang tertangkap oleh hidung saya.

Di unjung gang, kami masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana. Di dalam ruangan yang hanya bisa diisi oleh kurang lebih enam orang dengan duduk melingkar, ada satu  lemari pakaian tanpa pintu, satu rak piring, dan dua dipan (satu untuk duduk atau tidur dan yang lain untuk meletakan perabotan rumah tangga).

Di dalam sana Kak Hulai memperkenalkan kami dengan penghuni rumah yang bernama Bu Mari, beliau sedang sakit saat kami datang. Sambil menunggu adzan maghrib, kami berbincang dan mengatakan maksud kedatangan kami ke sana, juga membicarakan apa yang akan kami lakukan selepas maghrib nanti.

Singkat cerita, ba’da maghrib saya dan yang lainnya berangkat ke rumah lain yang lebih luas. Di sana saya bertemu dengan beberapa teman anak jalanan lain yang ingin belajar mengaji. Jumlah mereka ada empat orang. Pertama, namanya Nada, seorang gadis yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP, di suka sekali bercanda dan tertawa. Kedua, namanya Mbak Nida, wanita kurus dengan kulit gelap, yang ini sedikit malu-malu. Ketiga, Mbak Sumi, wanita kurus berkulit bersih yang sehari-harinya bekerja mengasuh anak tetangganya sendiri. Terakhir adalah pemilik rumah, namanya Mbak Nia, wanita lulusan SMA tahun 2007 yang pernah bekerja menjadi satpam.

***

Ini adalah pertemuan kedua mereka dengan Kak Hulai dalam kelas. Saya dan teman saya membantu Kak Hulai untuk mengajarkan baca tulis al-quran. Pelajaran hari ini adalah makhorijul huruf. Sebelum memulai pelajaran, Kak Hulai bertanya, “Nada dan mbak-mbak di sini tahu huruf hijaiyah kan?” Dengan spontan Mbak Sumi menjawab, “Saya mah gak tau tulisan Arab, Mbah Ulai. Ngaji aja seumur-umur kagak pernah.”

Saya benar-benar terkejut saat mendengar jawaban Mbak Sumi. Di usia yang kira-kira sebaya dengan Kak Hulai, ia belum mengenal huruf hijaiyah. Saat mendengar jawaban ini saya baru sadar kenapa saat maghrib tadi saya mengajak Mbak Sumi untuk shalat, ia hanya menjawab dengan senyuman sambil menggaruk-garuk kepala.

Saya tidak bisa membayangkan kepolosan Mbak Sumi yang mengakui bahwa dia belum pernah mengenal huruf hijaiyah sebelumnya. Bagaimana hidupnya selama ini? Tidakkah kedua orang tuanya mengajarkannya agama? Apakah kedua orang tua nya juga tidak mengenal al-quran? Apakah berarti kedua orang tuanya juga tidak shalat? Aiih, serentetan pertanyaan tiba-tiba menjejal di kepala saya.

Meskipun banyak celetukan yang membuat miris, proses belajar tetap belajar dengan lancar. Bahkan, penuh dengan warna. Ada Nada dengan gaya tertawanya yang membahana dan sering membuat saya terkejut. Mbak Sumi dengan kata khasnya “yassalam” setiap salah mengucapkan huruf atau ketika belum bisa juga mengucapkan ‘ain dan kho. Mbak Nida dan Mbak Nia yang cuma bisa senyum-senyum karena tidak bisa mengucapkan beberapa huruf. Seru!

Selesai mengajarkan makhorijul huruf dan member PR kepada teman-teman jalanan, kami memceritakan sebuah kisah tentang keislaman Ummu Sulaim. Di tengah keasikkan mendengarkan cerita, tiba-tiba hujan turun. Cukup deras. Mbak Sumi yang tidak menyadari hujan turun langsung terkejut saat tubuhnya terasa dingin dan dia langsung meminta izin untuk pulang lebih dulu karena takut atap rumahnya bocor.

Indah. Dari balik deretan bus terminal Pulogadung inilah aku menemukan momen indah di awal bulan ini. Mengenal Nada yang selalu tersenyum, Mbak Sumi yang blak-blakkan tapi malu-malu. Mbak Nida dan Mbak Nia yang lebih banyak diam tapi lucu. Beberapa jam sebelum bertemu mereka, saya masih tidak bisa menerka bahwa teman-teman yang akan saya temui adalah seperti mereka, teman-teman yang memiliki semangat luar biasa meskipun di lain sisi banyak yang melihat kekurang mereka.

Ah, banyak cerita bersama mereka yang tidak dapat saya tuangkan dalam kata-kata melalui catatan ini. Entahlah, terlalu indah bersama mereka. Dalam “ruang kelas dadakan” ini, saya menemukan sejumput kasih sayang yang berbeda kepada mereka yang belum saya kenal seutuhnya. Kasih sayang ini datang tiba-tiba. Kalian tahu?  Seperti ada embun yang metes di pipiku. Tes… Dingin seketika, tapi tidak menggigit. Dinginnya menyejukkan. Membuat mata pagi mebelalak. Segar. Lalu perahan embun itu menguap. Tidak menimbulkan panas. Tapi hangat yang menyuburkan semangat.

Ini baru dunia yang luar biasa!

Begitulah aku membatin sepanjang pertemuan dengan mereka. Bukan seberapa besar materil atau moril dalam memberi, tapi sebuah keistiqomahan yang lebih penting dari sederat angka nol dalam rupiah.

Oh iya. Saudara-saudariku, perlu kita sadari bersama bahwa sejatinya mereka tidak membutuhkan belas kasihan dari orang yang merasa lebih dari mereka, tapi kasih sayang dari kita dan rangkulan yang setara dan sederajatlah yang mereka butuhkan.

*Penulis adalah penggagas KOPAJA

Sejarah KOPAJA Bag. 1

Setitik Mimpi untuk "Matahari Jakarta"
KPAJ Jakarta (Komunitas Peduli Anak Jalanan Jakarta) 


Bismillahirrahmanirrahim

Berawal dari keprihatinan terhadap adik-adik yang berlalu lalang membawa sejumlah "alat" jalanan, saya memiliki satu target dalam daftar perencanaan hidup yang saya miliki, yakni membuat sebuah rumah singgah atau yayasan yang menampung anak jalanan dan membantu mereka terutama dalam bidang pendidikan umum maupun agama. Hampir setiap hari, setiap saya bertemu dengan adik-adik kecil itu di pinggir jalan ataupun di dalam bus kota, mimpi itu kembali memanggil dari alam bawah sadar saya. Panggilan mimpi itulah yang membuat saya selalu mengulang doa kepada Allah agar suatu saat mimpi kecil ini bisa menjadi kenyataan.

Keingin saya semakin kuat ketika pada beberapa kesempatan di sela-sela kesibukan kuliah sayamengobrol dengan Ani, Ian, dan Akbar, tiga bocah penjaga sepatu di masjid kampus. Saya semakin prihatin ketika tahu bahwa di antara mereka ada yang putus sekolah. Alasannya "lebih enak nyari duit". Miris bukan? Terlebih ketika sambil berbincang saya mengajak mereka "main tebak-tebakan" tentang ilmu dasar agama, seperti rukun Islam, rukun iman, jumlah rakaat salat, nama-nama nabi, dan lain-lain, tidak banyak yang mereka tahu. Saya semakin sedih saat tiba waktunya salat saya mengajak mereka untuk salat bersama, tapi mereka bilang, "Nanti aja, Kak, jaga sepatu aja ya." Setelah saya selesai salat dan menyuruh mereka salat untuk kedua kalinya, mereka hanya senyum sambil mengisyaratkan ketidakinginan mereka untuk salat. Um, jika mereka yang hidup dilingkungan berpendidikan dan dekat dengan unsur keagamaan saja seperti itu, bagaimana dengan mereka yang ada di jalanan? Apakah mereka masih mengenal apa itu Allah dan al-quran? Apakah mereka diperkenalkan dengan Islam? Ah, pikiran saya semakin terpecah dan resah.

Keresahan ini masih berlanjut hingga sekarang, sampai akhirnya entah bagaimana (saya lupa), melalui jejaring sosial ini Allah kembali mengingatkan saya akan mimpi kecil yang ingin segera dibebaskan ke dunia nyata. Dengan sekali klik, saya bergabung dalam suatu komunitas bernama KPAJ (Komunitas Peduli Anak Jalanan). Sayangnya, komunitas ini berada di Makassar dan memang lahir di Makassar. Karena saking inginnya berjuang di jalan ini, saya bertanya tentang apa yang dapat saya kontribusikan meski saya ada di Jakarta. Seorang kawan KPAJ Makassar mengabarkan bahwa di pulau Jawa sudah ada KPAJ Bandung yang baru lahir bulan ini. Kalau dipikir-pikir, jika memang bisa membentuk untuk Jakarta, why not?

Setelah bertanya-tanya kepada "aktivis jalanan" yang sudah berpengalaman di KPAJ, dengan bermodalkan nekad, 22 Oktober 2011 saya meng-update status yang berisi ajakan kepada teman-teman yang berdomosili di Jakarta dan memiliki kepudian tinggi kepada anak jalanan untuk membentuk KPAJ Jakarta.

*Penulis adalah penggagas KOPAJA

Karena Ratna Kuat! (Cerita Inspirasi Gerakan 1000 Buku untuk Anjal)



Bismillahirrahmanirrahim

Sebuah buku mungkin tidak cukup berarti harganya bagi yang memiliki uang berlebih. Sebuah buku mungkin sangat berarti harganya bagi yang tak mampu membeli.

Ini tentang keistemewaan, membedakan yang istimewa dan tidak istimewa. Yang membedakan seberapa istimewanya sebuah benda yang ada di tangan kita adalah usaha yang kita lakukan untuk meraihnya.

Siang itu saya makan di salah satu rumah makan dekat Rumah Pustaka FLP Ciputat bersama dengan dua sahabat saya. Lalu, tiba-tiba seorang bocah perempuan berjilbab masuk ke dalam rumah makan. Dia masuk tidak untuk makan. Dia masuk untuk meletakkan amplop-amplop kecil di atas meja tamu dan menanti tangan-tangan berbaik hati memasukkan uang ke dalam amlpopnya.

Saat mendekati meja kami, bocah perempuan itu menunjuk kotak makan yang dibawa sahabat saya. “Apa itu, Kak?” tanyanya polos, matanya tertuju pada tumpukan cokelat buatan sahabat saya.

“Ini cokelat. Kamu mau?” teman saya mengulurkan dua buah cokelat ke tangannya. Sambil malu-malu, dia mengambil cokelat itu dan pergi, meletakkan amplop di meja lain. Saat mendekati meja kami lagi, bocah ini tersenyum, cantik sekali.

“Ini bawa lagi,” kata saya dan sahabat saya serentak. Tangannya kini penuh dengan cokelat.

Begitulah awal perjumpaan saya setengah tahun lalu dengan seorang bocah perempuan bermata embun. Ratna namanya. Usianya saat itu tidak kurang dari tujuh tahun. Meski mengamen dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya, Ratna tetap terlihat cantik  di balik jilbab dan gamisnya yang lusuh.

***


Kemarin, 6 Oktober 2012 saya bertemu lagi dengan bocah bermata embun ini, di sebuah rumah makan tepat di samping UIN Ciputat. Kali ini masih sama, dia masuk tidak untuk makan, tapi untuk mencari uang. Dia masuk dan langusng meletakkan amplop di setiap meja makan. Dengan ragu-ragu saya menyebut namanya saat dia mendekati meja saya. Tapi dia tersenyum, lalu tertawa kecil sambil mengiyakan panggilan saya.

Saat kami bertanya balik siapa kami, ternyata Ratna sudah lupa dengan kami. Well, akhirnya, untuk kedua kalinya kami berkenalan lagi. Lalu, tiba-tiba Ratna berbisik di telinga saya, “Kakak, Kakak, tadi aku lihat buku bagus di depan sana. Aku mau beli buku itu tapi gak punya uang. Kakak mau gak beliin buat aku?”

“Buku apa itu?” saya ikut berbisik di telinganya.

Ternyata, Ratna ingin membeli buku cerita yang ada di bazaar buku  Mizan, dalam kampus UIN Ciputat. Selesai makan kami bertiga berjalan ke Rumah Pustaka untuk mengambil uang.

Saat tiba di dalam Rumah Pustaka, Ratna berteriak kegirangan. “Waaah, banyak buku ya, Kak.”

“Iya, di sini bukunya banyak. Kalau Ratna mau baca buku, ke sini aja ya,” kata teman saya.

Kurang lebih limabelas menit kami di Rumah Pustaka. Sejak masuk Rumah Pustaka, Ratna tak beranjak sedikitpun dari rak-rak buku. Dia terlihat sangat asik memilih-milih buku yang berjejer di rak. Setiap judul buku diperhatikannya, diambil, dibuka-buka, diberitahu kepada kami jika ada yang menarik, bertanya kepada kami jika ada yang membingungkan, dan meletakkannya kembali ketika melihat judul buku yang lebih menarik perhatian.

Deretan buku yang hampir setiap pekan saya lihat, memang hanya deretan buku biasa. Tapi hari itu, deretan buku-buku itu menjadi luar biasa di mata embun Ratna. Tangan kecil Ratna asik menjalari buku-buku berdebu yang berderet di sudut yang hampir tak pernah disentuh.

Setelah puas melihat-lihat buku Rumah Pustaka, kami keluar menuju bazaar buku Mizan. Ketika keluar dari Rumah Pustaka, Ratna melihat pintu masuk rumah makan yang ada di dekat Rumah Pustaka penuh dengan sandal. Itu artinya, di dalam sana banyak tamu yang hendak makan. Sambil malu-malu, Ratna yang sedari tadi menggandeng tangan saya berhenti berjalan dan berkata, “Aku mau ke sana dulu, Kak, lagi rame.”
Saya dan teman saya hanya tersenyum, mengangguk. Salut.

Bagi anak lain, rumah makan penuh tidak akan berarti apa-apa. Tapi bagi Ratna, dan anak-anak yang dibesarkan bersama kerasnya kehidupan, rumah makan yang penuh adalah peluang untuk mencari selembaran uang. Miris. Mereka tumbuh cerdas dan dewasa jauh dari usianya.

Setelah Ratna mengamen, kami bertiga langsung melaju ke bazaar buku. Sambil melompat kegirangan, Ratna menghampiri tumpukan buku anak-anak. Meraba-raba sampul buku. Membolak balik isinya. Mengomentari gambar-gambar yang ada di dalamnya.

Beberapa menit dia asik memilih, akhirnya satu buku diserahkannya kepada saya.

“Ini aja? Cuma satu?” teman saya bertanya.

“Memang boleh beli dua?” Ratna bertanya dengan polosnya.

“Boleh,” saya dan teman saya menyahut bersamaan.

“Asiiiiiiiik,” Ratna langsung membelakangi kami, berlari kegirangan.

Dua buku sudah di tangan Ratna, komik Upin-Ipin dan 101 Info tentang Sedekah for Kids. Ratna terus tersenyum saat kami antre di kasir.

Sebelum berpisah, Ratna ragu-ragu berkata, “Kakak, aku harus cari uang lagi.”

“Gak apa-apa. Tapi hati-hati ya.”

“Kakak, aku mau beli buku sekolah harganya 90.000, kalau uangku baru 58.000 berarti kurang 32.000 lagi ya?” kata Ratna dengan polosnya.

Entah kenapa, setelah mendengar pertanyaan itu saya merasakan ada hal yang berbeda masuk ke dalam diri saya. Sambil mengangguk mantap, saya dan teman saya kompak berteriak, “Semangaaaaat! Semangat beli buku sekolah!”

“Semangaaaat! Ratna bisa! Ratna kuat! Yeeee.” Ratna ikut berteriak sambil mengangkat tangannya.

Di sinilah kami berpisah. Sedih. Tapi, ya, bagaimana lagi. Ratna yang memiliki ibu seorang pembantu dan ayah seorang kuli bangunan masih harus mencari uang untuk membeli buku. Pelukan hangat mengakhiri pertemuan kedua kami sekaligus menjadi doa, semoga kami bisa bertemu lagi :’)

***

Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Ratna. Ada banyak energi positif yang saya terima dari bocah bermata embun ini. Ada semangat yang tak berkesudahan dan kekuatan optimisme yang diiringi keriangan yang dimiliki Ratna, dan semua itu belum saya miliki.

Segenggam iri terkepal dalam malu. Lalu saya  bertanya pada diri sendiri, apakah kamu cukup bangga dengan apa yang sudah kamu usahakan hingga saat ini? Tidak. Apa yang sudah saya usahakan hingga saat ini tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kemauan dan semangat yang Ratna punya.

Haru. Malu. Itulah yang saya rasakan sampai hari ini, setiap kali mengingat wajah surganya.

“Ratna kok ngamen? Memangnya gak dicariin sama ibu?” saya bertanya di sela-sela pertemuan kami.

“Nggak dong, kan Ratna udah gede. Ratna bisa kemana-mana sendirian, karena Ratna kuat! Yeeeee!” Ratna menjawab dengan semangat. Berteriak. Melompat.

Karena Ratna kuat. Mungkin saja Ratna tidak mengerti apa itu artinya kuat. Mungkin juga Ratna tidak tahu seberapa besar kekuatan yang harus kita miliki untuk dapat bertahan hidup di tengah derasnya masalah. Tapi, Ratna telah mengajarkan kepada saya untuk menjadi kuat dan hebat bukan berarti kita harus paham teori kuat dan hebat dalam hidup itu seperti apa.

Dari senyuman dan tawa Ratna, saya belajar arti keriangan. Dari keriangannya saya belajar untuk selalu bahagia, dalam keadaan ada atau tiada. Dari keriangannya saya belajar berhusnuzan pada Allah, bahwa Allah Mahabaik. Bahwa Dia senantiasa mengiringi kesulitan dengan kemudahan.

Dari mata embun Ratna, saya belajar arti keikhlasan, kesabaran. Bahwa keikhlasan, dan kesabaran adalah ketika kita menatap ke depan dengan mata berbinar dan berkata, “Allah Maha Menepati janji-Nya. Allah menjanjikan keberhasilan bagi orang-orang yang berusaha.”

Dari sentuhan tangan mungil Ratna, saya belajar arti kerja keras. Optimis, husnuzan, dan ikhlas tidaklah cukup untuk menjadikan kita sebagai orang yang kuat. Kerja keras adalah optimisme dan husnuzan pada Allah dalam bentuk yang berbeda. Bahwa dengan bekerja keras, kita yakin bahwa Allah akan menghitung setiap peluh yang jatuh dan menggantinya dengan yang lebih indah.

Dari Ratna saya tahu arti istimewa. Yang istimewa baginya adalah buku-buku yang disukainya tapi tak mampu dibelinya. Yang istimewa adalah yang kecil, yang didapatkan dengan segenap kemauan  besar dan kerja keras. Yang istimewa adalah yang didapatkan dengan usaha terbaik kita :)

Semangat mencari 32.000 lagi, Ratna! Terima kasih atas pelajaran yang berarti dan tak terganti. Semoga kamu tumbuh menjadi gadis yang shalehah dan dirindukan surga. Semoga semakin kuat! :’)

*Penulis adalah penggagas KOPAJA

Senin, 22 Oktober 2012

KOPAJA Go Public (2); Bersama Majalah Hidayah

Alhamdulillahirabbil 'aalamin.

KOPAJA kembali terekspos media. Salah seorang wartawan dari Majalah Hidayah menghubungi Ibu Ketua, Lisfatul Fatinah untuk meliput kegiatan KOPAJA dan mewawancarai seluk beluk KOPAJA.

Profile KOPAJA dapat dibaca oleh teman-teman di Majalah Hidayah edisi Ramadhan 1433 H/Agustus 2012 dalam rubrik Syi'ar, halam 114-117.

Ayo dibeli atau dicari majalahnya dan baca tentang KOPAJA di sana ^_^


Minggu, 21 Oktober 2012

Gerakan 1000 Buku Bacaan untuk Anak Jalanan



Buku adalah gerbang ilmu pengetahuan, begitulah sebuah skema mengemukakan betapa pentingnya keberadaan buku. Dalam pendidikan formal maupun nonformal, tidak adanya buku bacaan sebagai salah satu media pembelajaran, kadang menghambat proses belajar. Hal ini kerap kali terjadi pada anak-anak kurang mampu untuk membeli atau memperoleh buku bacaan yang diperlukannya, seperti anak-anak jalanan, dhuafa, dan yatim piatu.

Keadaan di atas membuat kami, KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan), untuk bergerak mengumpulkan buku-buku bacaan yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan anak-anak jalanan, dhuafa, dan yatim piatu. Pengumpulan buku yang kami beri nama Gerakan 1000 Buku Bacaan untuk Anak Jalanan ini semoga dapat membantu anak-anak yang kurang mampu agar tetap mendapatkan bacaan yang mendidik. Selain itu, Gerakan 1000 Buku Bacaan untuk Anak Jalanan ini juga untuk memperingati satu tahun berjalannya komunitas ini.

Dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk (1) menyediakan buku bacaan yang bermanfaat untuk anak-anak jalanan, (2) mengenalkan budaya membaca buku pada anak-anak jalanan, (3) Meningkatkan minat baca anak-anak jalanan, (4) Memperingati satu tahun berjalannya KOPAJA.

Sasaran dari kegiatan Gerakan 1000 buku untuk Anak Jalanan ini adalah 10 lembaga di Jakarta, Depok, dan Bogor yang menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu.

Insya Allah kegiatan ini akan dilaksanakan pada:
Hari        : Setiap Sabtu-Ahad
Tanggal   : 2 Maret s.d. 7 April 2013
Tempat   : 10 lembaga di Jakarta, Depok, dan Bogor yang menampung anak-anak jalanan dan yatim piatu

   1. Rumah Belajar KOPAJA
                   Lapak Pemulung, Kampung Sawah, Kebayoran, Jakarta Selatan
               2. Punk Muslim
                   Teriminal Pulo Gadung, Jakarta Timur
               3. Taman Baca Samudra
                    Jalan Samudra Jaya 002/02 Kel. Rangkap Jaya, Grogol, Depok
               4. Rumah Singgah SWARA
                    Jalan H.Kasman 002/05 No.17 Rawa Bunga Jatinegara
               5. Rumah Belajar TEKO FIP UNJ
                    Perapatan  Mega, Universirtas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur
               6. Panti Sosial Marsudi Putra Handayani
                    Jalan PPA, Bambu Apus, Cipayung, Jakarta
               7. Asrama Yatim Piatu Bogor
                    Citereup, Kampung Cibarogoh, Bogor
               8. Komunitas Anak Langit
                    Tangerang
               9. Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi
                    Jalan Bacang No.46 Jatipadang Pasar Minggu, Jakarta
               10. Rumah Singgah Annur Muhiyam
                      Jalan Bukit Duri Tanjakan II No.9A, Tebet, Jakarta

Bentuk bantuan yang kami terima untuk menunjang kegiatan ini adalah 1000 Buku Bacaan bekas atau baru dengan syarat buku yang disumbangkan adalah:
- buku pelajaran sekolah SD-SMA
- buku anak-anak
- buku hiburan (novel/komik)
- majalah anak/remaja/keluarga
- tidak mengandung SARA dan pornografi

buku-buku ini dapat dikirimkan ke alamat Jalan Nurul Huda 004/09 No.12 Kel. Jati Pulo Kec. Palmerah Jakarta Barat 11430 a.n. KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan).

Donasi uang yang dapat dikirimkan melalui rekening Bank Muamalat 0137749654 a.n. Kartika  Oktavia.

Info lebih lanjut:
0857-1789-2235 a.n. Lisfatul Fatinah Munir (Ketua Umum KOPAJA)
0857-8988-7409 a.n. Kartika Oktavia (Ketua Pelaksana G1000B)

Kenangan Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H KOPAJA (Part 3)


*Oleh: Lisfatul Fatinah Munir


Bismillahirrahmanirrahim

Katanya, jatuh cinta adalah ketika pikiran tersita pada satu sosok yang menarik perhatian kita. Ketika bangun tidur tiba-tiba teringat seseorang, hendak makan teringat seseorang, selesai shalat teringat seseorang, katanya itu tanda-tanda kita sedang jatuh cinta pada orang yang wajahnya terus berputar di pikiran. Jika memang semua itu benar, itu berarti beberapa hari lalu hingga saat ini saya sedang jatuh cinta pada seseorang.

Semua berawal dari ketertarikan. Lalu, ia berubah menjadi simpati dan bermetamorfosa menjadi serangkaian rasa melebihi sayang dan kasih. Begitulah kira-kira yang saya rasakan beberapa hari ini sebagaimana proses tumbuhnya cinta secara universal.

Melalui sebuah skenario Allah yang tak terduga, saya mengenalnya dan dekat dengannya dalam waktu yang amat singkat. Mulanya, ibu yang mengenalkan saya padanya. Meski awalnya saya merasakan hal yang biasa-biasa saja sebagaimana saya berinteraksi dengan lelaki sebayanya, tapi semakin lama saya bersamanya, selalu di dekatnya, membuat ketertarikan diam-diam merangkak di dalam dada.

Satu jam dua jam saya bersamanya, perlahan tapi pasti kasih dan sayang merambahi sekujur tubuh saya untuk terus saya alirkan pada lelaki ini. Di jam-jam selanjutnya, dan di hari berikutnya, aliran kasih dan sayang ini semakin deras. Hingga, tanpa saya sadari, airmata ini ikut menderas bersama sebuah pengakuan bahwa saya sedang jatuh cinta. Ya, saya jatuh cinta pada lelaki ini.

Sepertinya, cukup mudah bagi Allah untuk mengatur rasa yang ada pada diri saya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya habiskan untuk selalu di dekatnya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya habiskan untuk terus memupuk kasih dan sayang yang kini–saya akui–telah berbunga cinta. Dan, saya harus berani berkata, “O Allah, saya jatuh cinta padanya, pada lelaki yang Kau kirimkan di pagi buta kepada saya, yang selalu di dekat saya, meski hanya tiga puluh tiga jam lamanya.”

***

Ya, begitulah saya harus mengakui cinta yang berjingkat-jingkat di diri ini. Berbeda dengan cinta biasa yang dipahami banyak orang, cinta saya kepada lelaki ini sebagai syukur saya atas apa-apa yang saya miliki selama ini. Cinta saya untuk lelaki ini adalah sebentuk cinta yang perintahkan Allah dan Rasulullah saw. Saya mencintainya, lelaki kecil tak berayah yang selalu di dekat saya selama tiga puluh jam lamanya.

Ndi, begitulah lelaki kecil ini memanggil dirinya sendiri. Nama sebenarnya adalah Sandi. Dialah lelaki kecil yang dengan kepolosannya telah merenggut hati saya, membuat saya menumpahkan ketertarikan, kasih, dan sayang kepadanya, hingga saya harus mengaku bahwa saya mencintainya.

Perkenalan kami bermula pada kegiatan Pesantren Kilat Anak Jalanan yang diadakan KOPAJA. Saat sedang membicarakan persiapan acara dengan ibu saya, tiba-tiba ibu saya bertanya apakah masih bisa memasukkan peserta untuk acara ini sebab ibu mengenal tiga bocah pengamen sekaligus joki yang belum mendapatkan binaan.

Beberapa hari selanjutnya, setelah saya menyetujui tiga peserta tambahan yang direkomendasikan ibu, saya mendatangi kediaman tiga anak itu. Tapi, berhubung rumah ketiganya adalah kawasan kumuh tempat pada pengamen, pengemis, dan joki tinggal, seorang ibu muda menghampiri ibu saya dan bertanya apakah anaknya boleh ikut serta di acara kami. Saat itu saya tidak tahu berapa usia anak tersebut, tapi seketika itu juga saya dan ibu saya mengiyakan permintaan ibu muda tersebut.

Keesokan harinya, saat langit pagi masih abu-abu, saya menjemput keempat anak tersebut. Saya agak terkejut ketika ibu muda yang pernah menemui ibu saya dan saya menuntun anak lelaki usia lima tahun dan menyerahkan anak itu kepada saya. Ketika tangan lelaki kecil itu menggenggam tangan saya, ada desir aneh di dalam dada ini. Rasanya melebihi haru. Entah rasa apa itu, tiba-tiba hati saya semakin luluh ketika lelaki kecil itu tersenyum kepada saya.

Singkat cerita, sejak pagi buta itu saya selalu bersama Sandi, paling tidak berusaha menjalankan amanah ibu Sandi agar saya menjaga Sandi.

Kurang lebih tiga puluh tiga jam saya bersama Sandi. Kemana saya pergi, di situlah saya menggenggam lengan Sandi. Kendati saya harus mondar-mandir membantu berjalannya acara, Sandi tetap mengikuti saya, memegangi gamis saya, memegang lengan saya, atau berlari kecil di belakang saya.

Selama bersama Sandi, saya merasa menjadi seorang ibu muda yang diikuti anaknya sendiri. Bagaimana tidak, setiap ada apa-apa, Sandi selalu melapor kepada saya. Ketika Sandi lapar di siang hari, saya harus mencari makanan di daerah puncak yang baru saya kenal, ketika Sandi mengantuk saya biarkan dia tidur di pangkuan dan pelukan saya, bahkan ketika panitia yang lain sibuk mengurus acara saya justru sibuk memandikan Sandi dan mengajaknya bermain.

Ini nikmat. Hanya itu yang ingin saya katakan selama bersama Sandi. Apalagi ketika sahur saya bangun dengan tubuh menggigil, saya harus tetap melihat Sandi yang tertidur terpisah dengan saya (Sandi di dalam kamar bersama peserta, sedangkan saya tidur di luar kamar bersama panitia lainnya).

Yang mengejutkan adalah ketika saya masih menggigil kedinginan di sampingnya yang masih tertidur pulas, tiba-tiba dia terbangun dan berkata ‘mau pipis’. Sambil menahan dingin, saya menuntunnya ke kamar mandi dan mengajaknya kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. Tapi, sayanganya Sandi tidak ingin tidur. Ya, mau tak mau saya mengajaknya makan sahur. Di sinilah satu momen yang paling membuat hati saya luluh dan semakin mencintainya, lagi-lagi saya merasa menjadi ibunya. Sementara yang lainnya santap sahur di tengah udara puncak yang menusuk kulit, saya memeluknya dan menyuapinya. Selesai menyuapinya, saya membiarkan Sandi duduk di atas karpet dan bercanda dengan panitia yang sudah santap sahur, sementara itu saya mulai melaksanakan sahur.

Belum lagi ketika Sandi menangis karena malu ditertawakan oleh peserta yang lain karena kepolosan dan kelucuannya. Saat itu saya dengan spontan mengikutinya yang berlari ke kamar. Tak tega melihat air matanya mengalir. Lalu, saya mencoba membujuknya dan mengajaknya berkeliling vila. Lucunya, Sandi ingin digendong. Saat inilah kasih dan sayang yang saya miliki semakin berbunga menjadi kemabng-kembang cinta. Menggendongnya, menunjukkan pemandangan dari atas puncak sambil sedikit bernyanyi untuknya diam-diam membuat saya semakin mencintainya. Tanpa saya sadari, saat itu, ketika tubuh mungil Sandi masih berguncang karena tangisnya, saya turut menangis. Saya juga tak tahu mengapa air mata ini mengalir begitu saja. Yang jelas, saya benar-benar bahagia, serasa mendapat nikmat tak terkira ketika saya harus menjaga Sandi sebagaimana ibunya sendiri.

Waktu terus berjalan hingga Pesantren Kilat Anak Jalanan usai. Kami tiba di Jakarta ba’da Zuhur di Lapak Pemulung binaan KOPAJA. Selesai shalat dan menyuapi Sandi, saya dan yang lainnya pulang kerumah masing-masing, saya pun harus memulangkan Sandi pada ibunya.

Masih dalam keadaan letih saya tidur pulas sampai azan Ashar membangunkan saya. Kalian tahu apa yang saya lakukan saat bangun tidur. Saya mencari Sandi. Saya tidak sadar bahwa sekarang saya sudah berpisah dengan Sandi. Dan, setelah itu yang saya rasakan adalah rindu yang teramat sangat.

Keesokan harinya, saat makan sahur bersama keluarga, lagi-lagi saya teringat Sandi. Saya teringat ketika dia bangun untuk buang air kecil dan ikut sahur bersama saya. Untuk pertama kalinya, saya menangisi Sandi yang mungkin saat itu sedang tertidur pulas di rumahnya.

Siang harinya, saya kembali menjalan aktivitas di kampus. Entah, tanpa saya duga, ba’da shalat zuhur, tiba-tiba saya teringat Sandi. Senyum dan wajah Sandi semakin jelas ketika saya sedang membaca al-quran.  Sampai-sampai saya harus menghentikan bacaan saya dan saya malah menangis di sudut masjid kampus.
Mungkin ini namanya rindu, pikir saya saat mulai tenang ingin melanjutkan bacaan al-quran saya. Sebaris doa spontan terucap untuk keselamatan, kesehatan, dan kecerdasan Sandi kecil yang telah mengisi salah satu ruang hati saya.

Pagi tadi, saat saya hendak berangkat ke suatu tempat, saya menyengajakan diri melewati pasar tradisional yang biasa menjadi tempat bermain Sandi dan tiga bocah pengamen yang saya ajak ke kegiatan KOPAJA. Mata saya menelusuri sudut-sudut pasar dengan perlahan, berharap Sandi ada di salah satu tempat di pasar itu. Sayangnya, saya hanya bertemu dengan tiga bocah pengamen lainnya yang sudah siap berangkat menjoki di jalan three in one.

Saat hampir keluar dari pasar, ada sekumpulan anak kecil yang bercengkrama. Dengan hati-hati saya teliti satu-satu wajah anak-anak yang berkumpul itu. Belum selesai saya menelusuri wajah seluruh anak itu, tiba-tiba salah satu di antaranya berlari ke arah saya. Anak itulah yang saya cari. Dialah Sandi, lelaki kecil tak berayah yang telah merenggut segenap perhatian dan cinta yang saya punya.Lagi-lagi, mungkin karena saya cengeng, saya menangis di perjalanan.

Um, apakah begini rasanya jatuh cinta pada seseorang? Ingin terus di dekatnya, menjaganya, dan bisa bercengkrama dengan dia yang telah mengambil bagian dari hati kita?

Jika memang ini cinta, saya berharap ini cinta yang lillah. Saya berharap cinta ini berlandaskan ajaran Allah dan Rasulullah yang menganjurkan kita untuk mencintai anak yatim dan fakir miskin.

Satu hal besar yang saya pelajari dari perjalanan tiga pulung tiga jam bersama Sandi. Bahwa berkumpul dengan mereka, anak-anak pemulung, anak jalanan, anak yatim, dan fakir miskin adalah tahap awal untuk terus mengasah kepekaan dan kelembutan hati.


O Allah, saya jatuh cinta pada lelaki kecil tak berayah itu. O Allah, utuhkan cinta pada bocah yatim ini hanya atas nama-Mu dan Rasul-Mu, atas kesadaran sebagai hamba yang juga berkekurangan. Bahwa dengan mencintai lebih banyak lagi bocah yatim adalah cara saya untuk semakin mencintai-Mu, mencitai Rasul-Mu, dan mencintai agama-Mu yang penuh dengan cinta.

Allah, salam sayang untuk Sandi. Ah, konyol, saya berharap bisa mengasuhnya :’)

*penulis adalah penggagas KOPAJA

Kenangan Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H KOPAJA (Part 2)


Dug dug dug! Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Alhamdulillah, waktunya berbuka :D Adik-adik berbuka dengan takjil, dilanjutkan dengan shalat Maghrib berjamaah, lalu makan bersama.

Setengah jam makan, selanjutnya adik-adik berkumpul lagi. Sambil menunggu azan Isya, adik-adik mendengarkan materi singkat dari Kak Khaydar.

Azan Isya berkumandang. Waktunya khusyuk, shalat Isya dan teraweh berjamaah :D

Bergerak tanpa Batas dalam Keterbatasan

Selepas shalat Isya dan teraweh, adik-adik dapat materi dari Kak Senna, seorang pemateri yang memiliki keterbatasan dalam pengelihatannya. Adik-adik peserta semuaya terpana melihat kehebatan Kak Senna membawakan materi. Yaa, meskipun ada beberapa adik-adik yang tidur, kegiatan terakhir di hari pertama ini berlangsung sukses.

Kegiatan malam ini ditutup  dengan muhasabah oleh tiga orang teman-teman disabilitas netra; Kak Senna, Kak Rifki, dan Kak Oki. Semua hanyut dalam perenungan sebelum terdampar di pulau kapuk :D

Hari kedua. Lebih Semangat, Lebih Nikmat! :D

Hari kedua. Adik-adik bangun pukul 3.30 WIB. Kami makan sahur bersama dilanjutkan dengan shalat Subuh dan mendnegarkan ceramah dari Kakak Ustaz Khaydar sampai pukul 5.30. Setelah itu, adik-adik mempersiapkan diri untuk olahraga pagi. Olahraga pagi dan games pagi di lapangan masih dipimpin oleh Kak Tika. Games seru dan mengasikkan membuat adik-adik lupa mandi pagi ^_*

Semua adik-adik pergi mandi. Lalu, mereka sibuk mempersiapkan diri untuk acara selanjutnya, yaitu lomba azan untuk peserta laki-laki dan lomba busana muslimah untuk peserta perempuan.

Ini acara yang paling seru. Adik-adik yang azan banyak yang gugup. Ada yang salah urutan, salah melengking suaranya, sampai ada yang lupa lafaznya. Tapi itu semua tidak merusak suasana, karena semuanya tetap seru bersama keunikan adik-adik peserta. Acara dilanjutkan dengan lomba busana muslimah. Adik-adik peserta bersiap melenggok di depan para juri untuk menjadi juara. Siapa yang busananya syar’i, sopan, dan rapi adalah pemenangnya :D



Akhir yang Menyenangkan

Bersiap untuk pulang :D

Setelah lomba azan dan busana muslimah, adik-adik menyiapkan diri untuk pulang, semua tas dikumpulkan dan adik-adik duduk rapi di aula untuk menunggu pengumuman para pemenang sekaligus menerima bingkisan untuk semua peserta :)

Tepat pukul 10.10 WIB kami meninggalkan Villa Kathronan, adik-adik membawa sejumlah ilmu baru, kenangan baru, teman baru, dan bingkisan kecil dari KOPAJA. Di perjalanan, semuanya tepar, termasuk kakak-kakak KOPAJA dan UNJ.

Alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Semua berjalan lancar dan menyenangkan. Semoga menjadi kegiatan yang barokah. Semoga Pesantren Kilat Anak Jalanan menjadi agenda rutinitas KOPAJA setiap tahunnya. Amin.


Salam cinta untuk tunas bangsa.
KOPAJA, merangkai cita dengan cinta! ^_^

Dokumentasi Sanlat Anjal KOPAJA bisa dilihat di sini

Kenangan Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H KOPAJA (Part 1)



Alhamdulillahirrabbil ‘alamin. Segala puji dan syukur kami panjatkan atas cinta dan kasih sayang Allah swt. kepada langkah-langkah kaki yang tertatih untuk menempuh perjuangan ini, bersama anak-anak jalanan menuju cita yang Robbani, ilaa Allah Karim.

Tak ada perjuangan yang tak mudah. Bahwa setiap perjalanan menuju tempat indah pasti selalu diawali dengan perjalanan yang mendaki, menurut, terjal, berbatu, dan banyak liku. Demikian pula perjalanan KOPAJA yang masih seumur jagung ini, untuk memberikan manfaat lebih banyak lagi, persiapan menuju program Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H ini penuh dengan tantangan. Waktu, kondisi, dan uang adalah tiga hal utama yang menjadi tantangan KOPAJA. Banyak kepala yang ada di sini, di jalan juang ini, bersinergi menuju satu visi; memanusiakan anak jalanan, menjadikan mereka manusia yang mengenal Allah dan bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan, dan agama.

Hampir dua bulan kami, KOPAJA, mempersiapkan agenda Pesantren Kilat untuk Anak Jalanan yang diadakan di Villa Kathronan, pada 28-29 Agustus 2012 lalu. Alhamdulillah, segala perjuangan dan lelah terbayar sudah. ^_^

Persiapan

Sebelum hari keberangkatan menuju Villa Kathronan, KOPAJA membersiapkan segala pernak pernik keperluan selama Pesantren Kilat ini; tempat, bingkisan, hadiah, konsumsi, tempat, pembicara, dan lain-lainnya dipermatang dengan sebuah realisasi dan pengorbanan waktu yang tak bisa digantikan.

Akhir yang baik adalah buah dari persiapan dan perjalanan yang baik. Untuk itu, KOPAJA berusaha sebisa mungkin menyiapkan segala hal yang terbaik untuk adik-adik anak jalanan ini selama mengikuti Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H ^_^

Dua Hari yang Tak Tergantikan
Hari Pertama; Tertawa dan Menangis Bersama ^_^

Perjalanan kami mulai dari Lapak Pemulung, Kampung Sawah, tempat anak-anak pemulung binaan KOPAJA. Pukul 7.00 WIB kakak-kakak KOPAJA berkumpul di Lapak Pemulung. Pukul 8.30 WIB semua anak-anak masuk ke dalam bus yang kami siapkan untuk meluncur ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sebelum ke Villa Kathronan, Megamendung. Di UNJ, kami menjemput adik-adik binaan mahasiswa UNJ yang terdaftar sebagai peserta Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H.
Tiga puluh anak jalanan berkumpul sudah. Mereka duduk manis di dalam bus yang akan membawa kami ke Megamendung, Bogor. Pukul 9.30 WIB kami siap meluncur ke Villa Kathronan ^_^
Perjalanan jauh selama di dalam bus ini diisi dengan saling sharing antara KOPAJA dan UNJ. Adik-adik kami? Mereka ada yang ngobrol, memainkan hape, dan kebanyakan di antara mereka tidur selama perjalanan :D

Kita sampai ^_^

Alhamdulillah, akhirnya kami sampai di Villa Kathronan pukul 11. 20 WIB. Adik-adik berhamburan ke sana ke mari, belum sempat terkendali. Sampai-sampai ada yang bertengkar antara adik KOPAJA dan UNJ >,< Tapi semua itu, terkendali ^_^

Pukul 11. 40 adik-adik berkumpul di aula untuk mendengarkan arahan dari Kak Tika, salah satu relawan KOPAJA. Setelah itu, adik-adik KOPAJA mempersiapkan diri menuju kamar masing-masing dan bersiap-siap shalat Zuhur berjamaah. Yang azan Zuhur saat itu adalah salah satu adik binaan KOPAJA.

Setelah shalat Zuhur berjamaah, adik-adik bersiap-siap mendnegarkan pembagian kelompok. Masih ingat tentang adik KOPAJA dan UNJ yang bertengkar? Di pembagian kelompok ini, adik-adik yang tadi bertengkar kami satukan dalam satu kelompok, agar mereka bisa memperbaiki hubungan mereka selama berkerja sama dalam kelompok.

Lomba Puzzle ^_*

Lomba puzzle kali ini tidak seperti menyusun puzzle biasa. Ada enam kelompok yang memegang enam puzzle yang berbeda. Enam set kepingan puzzle ini digabungkan dan adik-adik peserta harus mencari kepingan puzzle sesuai dengan papan puzzle yang mereka pegang. Kepingan puzzle yang salah diambil harus ditukar ke kelompok lain dengan siste, barter alias tukeran.

Jadi, dalam lomba menyusun puzzle per kelompok ini snagat dibutuhkan kerja sama, kejujuran, dan kecepatan. Yang pertama kali menyelesaikan susunan puzzle dengan benar adalah pemenangnya ^_^
Selesai lomba puzzle, adik-adik kembali ke kelompok masing-masing. Bersama dengan pembimbing kelompok, adik-adik memepersiapkan diri menghapal surat-surat pendek yang akan dilombakan kurang lebih 15 menit setelah kumpul kelompok.

Siapkan Hapalanmu! (/^,^)/

Ini bagian tegang-tegangan yang kedua. Adik-adik harus menghapal surat-surat pendek yang nanti akan dites secara acak oleh kakak-kakak juri.
Teng! Pukul 14.30 WIB. Adik-adik berkumpul kembali di aula untuk menyetor hapalan mereka. Ada reward untuk adik-adik peserta yang memiliki hapalan paling baik. ^_^
Selesai hapalan surat pendek, adik-adik yang tadi sudah tegang menyetor hapalannya kembali bersiap-siap melakukan shalat Ashar. Yang azan Ashar, lagi-lagi dari adik peserta.

Motivasi; tangisan dan semangat bermimpi!
Sehabis shalat Ashar, adik-adik peserta menghabiskan senja dengan mendengarkan materi dari Kak Sigit Kamseno. Materi kali ini tentang berani bermimpi. Jadi, sambil ngabuburit, sambil belajar, sambil merangkai mimpi ^_^

Mungkin karena materi yang dibawakan Kak Sigit sangat menggugah hati adik-adik, sehingga semua adik-adik peserta Pesantren Kilat Anak Jalanan 1433 H menitikkan airmata. Bahkan, banyak adik-adik peserta yang menangis sambil menyebut nama ibu mereka. Inilah senja yang menggugah. Antara mimpi dan airmata dikemas dalam obrolan yang membakar semangat nadi. Semoga Allah Memudahkan adik-adik menggapai mimpi :’)

Lalu, bagaimana, Kak, puasa adik-adiknya? Batal gak? Adik-adik bingung apakah puasa mereka batal atau tidak. Kak Tika menjawab, nggak batal, kalo air matanya gak ketelan. Adakah adik-adik yang menelan airmatanya? Alhamdulillah, ternyata tidak ada. It means, semua puasa mereka lancar-lancar saja :)
Setelah bersedu sedan bersama, ini saatnya adik-adik dibawa kembali ke suasana ceria :D

Di akhir waktu Ashar, Kak Tika yang memandu acara menyiapkan games yang seru untuk mencairkan suasana. Well, sore ini adik-adik semuanya kompak “habis nangis ketawa” ^_*

Pukul 17.00 WIB waktunya adik-adik bersih-bersih, lalu tadarus bersama sambil menunggu azan Maghrib tiba dan berbuka puasa bersama. Sementara adik-adik peserta tadarus, kakak-kakak KOPAJA dan UNJ menyiapkan takjil dan makanan untuk berbuka. (bersambung…)