*Oleh: Lisfatul Fatinah Munir
Bismillahirrahmanirrahim
Katanya, jatuh cinta adalah ketika pikiran
tersita pada satu sosok yang menarik perhatian kita. Ketika bangun tidur
tiba-tiba teringat seseorang, hendak makan teringat seseorang, selesai shalat teringat
seseorang, katanya itu tanda-tanda kita sedang jatuh cinta pada orang yang
wajahnya terus berputar di pikiran. Jika memang semua itu benar, itu berarti
beberapa hari lalu hingga saat ini saya sedang jatuh cinta pada seseorang.
Semua berawal dari ketertarikan. Lalu, ia berubah
menjadi simpati dan bermetamorfosa menjadi serangkaian rasa melebihi sayang dan
kasih. Begitulah kira-kira yang saya rasakan beberapa hari ini sebagaimana
proses tumbuhnya cinta secara universal.
Melalui sebuah skenario Allah yang tak
terduga, saya mengenalnya dan dekat dengannya dalam waktu yang amat singkat.
Mulanya, ibu yang mengenalkan saya padanya. Meski awalnya saya merasakan hal
yang biasa-biasa saja sebagaimana saya berinteraksi dengan lelaki sebayanya,
tapi semakin lama saya bersamanya, selalu di dekatnya, membuat ketertarikan
diam-diam merangkak di dalam dada.
Satu jam dua jam saya bersamanya, perlahan
tapi pasti kasih dan sayang merambahi sekujur tubuh saya untuk terus saya
alirkan pada lelaki ini. Di jam-jam selanjutnya, dan di hari berikutnya, aliran
kasih dan sayang ini semakin deras. Hingga, tanpa saya sadari, airmata ini ikut
menderas bersama sebuah pengakuan bahwa saya sedang jatuh cinta. Ya, saya jatuh
cinta pada lelaki ini.
Sepertinya, cukup mudah bagi Allah untuk
mengatur rasa yang ada pada diri saya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya
habiskan untuk selalu di dekatnya. Tiga puluh tiga jam bersamanya, saya
habiskan untuk terus memupuk kasih dan sayang yang kini–saya akui–telah
berbunga cinta. Dan, saya harus berani berkata, “O Allah, saya jatuh cinta
padanya, pada lelaki yang Kau kirimkan di pagi buta kepada saya, yang selalu di
dekat saya, meski hanya tiga puluh tiga jam lamanya.”
***
Ya, begitulah saya harus mengakui cinta yang
berjingkat-jingkat di diri ini. Berbeda dengan cinta biasa yang dipahami banyak
orang, cinta saya kepada lelaki ini sebagai syukur saya atas apa-apa yang saya
miliki selama ini. Cinta saya untuk lelaki ini adalah sebentuk cinta yang
perintahkan Allah dan Rasulullah saw. Saya mencintainya, lelaki kecil tak
berayah yang selalu di dekat saya selama tiga puluh jam lamanya.
Ndi, begitulah lelaki kecil ini memanggil
dirinya sendiri. Nama sebenarnya adalah Sandi. Dialah lelaki kecil yang dengan
kepolosannya telah merenggut hati saya, membuat saya menumpahkan ketertarikan,
kasih, dan sayang kepadanya, hingga saya harus mengaku bahwa saya mencintainya.
Perkenalan kami bermula pada kegiatan
Pesantren Kilat Anak Jalanan yang diadakan KOPAJA. Saat sedang membicarakan
persiapan acara dengan ibu saya, tiba-tiba ibu saya bertanya apakah masih bisa
memasukkan peserta untuk acara ini sebab ibu mengenal tiga bocah pengamen
sekaligus joki yang belum mendapatkan binaan.
Beberapa hari selanjutnya, setelah saya
menyetujui tiga peserta tambahan yang direkomendasikan ibu, saya mendatangi
kediaman tiga anak itu. Tapi, berhubung rumah ketiganya adalah kawasan kumuh
tempat pada pengamen, pengemis, dan joki tinggal, seorang ibu muda menghampiri
ibu saya dan bertanya apakah anaknya boleh ikut serta di acara kami. Saat itu saya
tidak tahu berapa usia anak tersebut, tapi seketika itu juga saya dan ibu saya
mengiyakan permintaan ibu muda tersebut.
Keesokan harinya, saat langit pagi masih
abu-abu, saya menjemput keempat anak tersebut. Saya agak terkejut ketika ibu
muda yang pernah menemui ibu saya dan saya menuntun anak lelaki usia lima tahun
dan menyerahkan anak itu kepada saya. Ketika tangan lelaki kecil itu
menggenggam tangan saya, ada desir aneh di dalam dada ini. Rasanya melebihi
haru. Entah rasa apa itu, tiba-tiba hati saya semakin luluh ketika lelaki kecil
itu tersenyum kepada saya.
Singkat cerita, sejak pagi buta itu saya
selalu bersama Sandi, paling tidak berusaha menjalankan amanah ibu Sandi agar
saya menjaga Sandi.
Kurang lebih tiga puluh tiga jam saya bersama
Sandi. Kemana saya pergi, di situlah saya menggenggam lengan Sandi. Kendati
saya harus mondar-mandir membantu berjalannya acara, Sandi tetap mengikuti
saya, memegangi gamis saya, memegang lengan saya, atau berlari kecil di
belakang saya.
Selama bersama Sandi, saya merasa menjadi
seorang ibu muda yang diikuti anaknya sendiri. Bagaimana tidak, setiap ada
apa-apa, Sandi selalu melapor kepada saya. Ketika Sandi lapar di siang hari,
saya harus mencari makanan di daerah puncak yang baru saya kenal, ketika Sandi
mengantuk saya biarkan dia tidur di pangkuan dan pelukan saya, bahkan ketika
panitia yang lain sibuk mengurus acara saya justru sibuk memandikan Sandi dan
mengajaknya bermain.
Ini nikmat. Hanya itu yang ingin saya katakan
selama bersama Sandi. Apalagi ketika sahur saya bangun dengan tubuh menggigil,
saya harus tetap melihat Sandi yang tertidur terpisah dengan saya (Sandi di
dalam kamar bersama peserta, sedangkan saya tidur di luar kamar bersama panitia
lainnya).
Yang mengejutkan adalah ketika saya masih
menggigil kedinginan di sampingnya yang masih tertidur pulas, tiba-tiba dia
terbangun dan berkata ‘mau pipis’. Sambil menahan dingin, saya menuntunnya ke
kamar mandi dan mengajaknya kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur. Tapi,
sayanganya Sandi tidak ingin tidur. Ya, mau tak mau saya mengajaknya makan
sahur. Di sinilah satu momen yang paling membuat hati saya luluh dan semakin
mencintainya, lagi-lagi saya merasa menjadi ibunya. Sementara yang lainnya
santap sahur di tengah udara puncak yang menusuk kulit, saya memeluknya dan
menyuapinya. Selesai menyuapinya, saya membiarkan Sandi duduk di atas karpet
dan bercanda dengan panitia yang sudah santap sahur, sementara itu saya mulai
melaksanakan sahur.
Belum lagi ketika Sandi menangis karena malu
ditertawakan oleh peserta yang lain karena kepolosan dan kelucuannya. Saat itu
saya dengan spontan mengikutinya yang berlari ke kamar. Tak tega melihat air
matanya mengalir. Lalu, saya mencoba membujuknya dan mengajaknya berkeliling
vila. Lucunya, Sandi ingin digendong. Saat inilah kasih dan sayang yang saya
miliki semakin berbunga menjadi kemabng-kembang cinta. Menggendongnya,
menunjukkan pemandangan dari atas puncak sambil sedikit bernyanyi untuknya
diam-diam membuat saya semakin mencintainya. Tanpa saya sadari, saat itu, ketika
tubuh mungil Sandi masih berguncang karena tangisnya, saya turut menangis. Saya
juga tak tahu mengapa air mata ini mengalir begitu saja. Yang jelas, saya
benar-benar bahagia, serasa mendapat nikmat tak terkira ketika saya harus
menjaga Sandi sebagaimana ibunya sendiri.
Waktu terus berjalan hingga Pesantren Kilat
Anak Jalanan usai. Kami tiba di Jakarta ba’da Zuhur di Lapak Pemulung binaan
KOPAJA. Selesai shalat dan menyuapi Sandi, saya dan yang lainnya pulang kerumah
masing-masing, saya pun harus memulangkan Sandi pada ibunya.
Masih dalam keadaan letih saya tidur pulas
sampai azan Ashar membangunkan saya. Kalian tahu apa yang saya lakukan saat bangun
tidur. Saya mencari Sandi. Saya tidak sadar bahwa sekarang saya sudah berpisah
dengan Sandi. Dan, setelah itu yang saya rasakan adalah rindu yang teramat
sangat.
Keesokan harinya, saat makan sahur bersama
keluarga, lagi-lagi saya teringat Sandi. Saya teringat ketika dia bangun untuk
buang air kecil dan ikut sahur bersama saya. Untuk pertama kalinya, saya menangisi
Sandi yang mungkin saat itu sedang tertidur pulas di rumahnya.
Siang harinya, saya kembali menjalan aktivitas
di kampus. Entah, tanpa saya duga, ba’da shalat zuhur, tiba-tiba saya teringat
Sandi. Senyum dan wajah Sandi semakin jelas ketika saya sedang membaca
al-quran. Sampai-sampai saya harus menghentikan bacaan saya dan saya malah
menangis di sudut masjid kampus.
Mungkin ini namanya rindu, pikir saya saat
mulai tenang ingin melanjutkan bacaan al-quran saya. Sebaris doa spontan
terucap untuk keselamatan, kesehatan, dan kecerdasan Sandi kecil yang telah
mengisi salah satu ruang hati saya.
Pagi tadi, saat saya hendak berangkat ke suatu
tempat, saya menyengajakan diri melewati pasar tradisional yang biasa menjadi
tempat bermain Sandi dan tiga bocah pengamen yang saya ajak ke kegiatan KOPAJA.
Mata saya menelusuri sudut-sudut pasar dengan perlahan, berharap Sandi ada di salah
satu tempat di pasar itu. Sayangnya, saya hanya bertemu dengan tiga bocah
pengamen lainnya yang sudah siap berangkat menjoki di jalan three in one.
Saat hampir keluar dari pasar, ada sekumpulan
anak kecil yang bercengkrama. Dengan hati-hati saya teliti satu-satu wajah
anak-anak yang berkumpul itu. Belum selesai saya menelusuri wajah seluruh anak
itu, tiba-tiba salah satu di antaranya berlari ke arah saya. Anak itulah yang
saya cari. Dialah Sandi, lelaki kecil tak berayah yang telah merenggut segenap
perhatian dan cinta yang saya punya.Lagi-lagi, mungkin karena saya cengeng, saya
menangis di perjalanan.
Um, apakah begini rasanya jatuh cinta pada
seseorang? Ingin terus di dekatnya, menjaganya, dan bisa bercengkrama dengan
dia yang telah mengambil bagian dari hati kita?
Jika memang ini cinta, saya berharap ini cinta
yang lillah. Saya berharap cinta ini berlandaskan ajaran Allah dan Rasulullah
yang menganjurkan kita untuk mencintai anak yatim dan fakir miskin.
Satu hal besar yang saya pelajari dari
perjalanan tiga pulung tiga jam bersama Sandi. Bahwa berkumpul dengan mereka,
anak-anak pemulung, anak jalanan, anak yatim, dan fakir miskin adalah tahap
awal untuk terus mengasah kepekaan dan kelembutan hati.
O Allah, saya jatuh cinta pada lelaki kecil
tak berayah itu. O Allah, utuhkan cinta pada bocah yatim ini hanya atas nama-Mu
dan Rasul-Mu, atas kesadaran sebagai hamba yang juga berkekurangan. Bahwa
dengan mencintai lebih banyak lagi bocah yatim adalah cara saya untuk semakin
mencintai-Mu, mencitai Rasul-Mu, dan mencintai agama-Mu yang penuh dengan
cinta.
Allah, salam sayang untuk Sandi. Ah, konyol,
saya berharap bisa mengasuhnya :’)
*penulis adalah penggagas KOPAJA